Tingkatkan Penerimaan Negara, Dirjen Bea Cukai Diharapkan Terapkan Moratorium Kenaikan Cukai Rokok
Penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai oleh Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai oleh Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi penguatan penerimaan negara, khususnya dari sektor kepabeanan dan cukai.
Dengan mandat strategis tersebut, Djaka menyatakan komitmennya untuk mengawal target penerimaan negara yang telah ditetapkan pemerintah.
Salah satu sektor yang menaruh ekspektasi besar terhadap kepemimpinan baru ini adalah industri hasil tembakau (IHT), yang pada tahun 2024 menyumbang Rp 216,9 triliun melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Di tengah tekanan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat, pelaku industri dan petani tembakau mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminudin, menyampaikan bahwa para petani berharap besar pada kebijakan Dirjen Bea Cukai yang baru.
Menurutnya, kenaikan tarif CHT di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil dapat memicu efek domino yang merugikan, terutama bagi sektor padat karya seperti IHT.
“Penting sekali moratorium kenaikan CHT, karena untuk menstabilkan daya beli masyarakat itu,” ucapnya.
Menurut Sahminudin, kebijakan tersebut dapat menunda potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan menjaga serapan hasil panen petani. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap rokok ilegal yang memperparah kondisi petani.
“Otomatis mengurangi kebutuhan tembakaunya, jadi nanti langsung petani terdampak juga itu. Apalagi sekarang ini kan pemerintah kita bilang belum mampu menjaga rokok ilegal,” tambahnya.
Menanggapi seruan moratorium, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Elizabeth Kusrini, memberikan pandangan yang lebih luas.
Ia menilai bahwa kebijakan moratorium dapat memberikan ruang napas bagi ekosistem IHT, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pelaku UMKM distribusi. Stabilitas harga rokok dinilai mampu mempertahankan lapangan kerja.
“Ketika cukai dinaikkan secara agresif, industri cenderung mengurangi pembelian bahan baku untuk efisiensi, sehingga pendapatan petani rentan terdampak. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata niaga tembakau, buruh tetap rentan terhadap pemutusan kerja sebagai dampak tekanan efisiensi dari perusahaan,” jelas Elizabeth.
Ia juga mengingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan cukai dari tahun ke tahun, seperti lonjakan 23 persen pada 2020, dapat memicu reaksi ekstrem dari industri, termasuk PHK dan relokasi produksi.
“Risiko terbesar adalah pada sektor padat karya, yakni buruh Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan petani tembakau, yang posisinya rentan dan kurang terlindungi dari dinamika pasar. Jika pabrik gulung tikar atau menurunkan kapasitas produksi karena ketidakpastian tarif, kelompok ini yang pertama terdampak,” kata Elizabeth.
Baca juga: Wali Kota Blitar Serahkan BLT Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau ke 241 Pekerja SKT Sampoerna
Dengan latar belakang tersebut, moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas industri, melindungi tenaga kerja, dan memastikan penerimaan negara tetap optimal tanpa mengorbankan kelompok rentan dalam rantai pasok tembakau.
Djaka Budi Utama
Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Prabowo Subianto
cukai hasil tembakau
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia
Sapaan “Pak Prabowo!” di Osaka: Momen Hangat Diaspora Indonesia |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Beri Dukungan untuk Indonesia Hebat di Expo Osaka 2025 |
![]() |
---|
Diplomasi Maraton Prabowo: Dari Jepang ke PBB, Lanjut Kanada dan Belanda |
![]() |
---|
Soal Jokowi Arahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran Dua Periode, Bara JP: Nggak Ada yang Salah |
![]() |
---|
Prabowo Tiba di Osaka untuk Kunjungi Paviliun Indonesia di Osaka Expo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.