Tribunners / Citizen Journalism
Mengedepankan Meritokrasi dalam Pemilihan Kapolri
Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo sudah menjabat lebih dari 4 tahun sebagai Kapolri, menggantikan Jendral Idham Aziz
Editor:
Choirul Arifin
Meritokrasi dalam Pemilihan Kapolri
Oleh: Komang Ayu Padma Dewi
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI) merupakan institusi vital dalam sistem hukum dan keamanan nasional. Sebagai lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta penegakan hukum.
Karena itulah posisi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) memegang peranan yang sangat strategis.
Sebagai negara demokrasi dan mengutamakan tata kelola pemerintahan yang baik, Indonesia idealnya melakukan proses pemilihan Kapolri dengan prinsip meritokrasi.
Yaitu, memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, kompetensi, rekam jejak, dan integritas, bukan berdasarkan kedekatan politik, afiliasi pribadi, atau pertimbangan non-profesional lainnya.
Kapolri saat ini Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo sudah menjabat lebih dari 4 tahun, menggantikan Jendral Idham Aziz dan dilantik Presiden Joko Widodo pada 27 Januari 2021.
Dengan usia pensiunnya di 2027, bukan tidak mungkin Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo akan menjabat sebagai Kapolri selama 6 tahun dan yang terlama setelah era reformasi.
Meskipun masa jabatannya yang mungkin masih berlangsung selama 2 tahun kedepan, rasanya bukan sesuatu yang tabu untuk membahas siapa pengganti dan mekanisme penggantiannya dengan berdasarkan meritokrasi.
Proses Pemilihan Kapolri dan Dinamikanya
Pemilihan Kapolri secara formal diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Meskipun proses ini melibatkan lembaga legislatif sebagai bentuk checks and balances, keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden.
Baca juga: Connie Bakrie Deg-degan Bawa 37 Dokumen Rahasia: Paling Ngeri soal Kapolri dan Upaya Hancurkan PDIP
Dalam praktiknya, Presiden biasanya mengajukan satu nama calon Kapolri kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Proses ini tentu saja proses politik. Kita tentu masih mengingat bagaimana pada tahun 2015 di periode pertamanya Presiden Joko Widodo menunjuk sosok Komisaris Jendral Budi Gunawan untuk menjadi calon tunggal Kapolri menggantikan Kapolri Sebelumnya Jendral Sutarman.
Meskipun ada selentingan kabar yang menyebutkan bahwa pencalonan ini merupakan permintaan Megawati Soekarnoputri karena kedekatannya dengan Komjen Budi Gunawan saat menjadi ajudan presiden.
Baca juga: Seloroh Prabowo Tidak Akan Ganti Panglima TNI dan Kapolri dalam Waktu Dekat
Namun demikian sosok Komjen Budi Gunawan sendiri sebenarnya adalah anggota kepolisian yang penuh dengan prestasi dan memenuhi syarat meritokrasi.
Kasus selanjutnya adalah pemilihan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Proses ini memang menunjukkan adanya kecenderungan kuat terhadap pertimbangan politis.
Pemilihan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri pada tahun 2021 menimbulkan banyak diskusi publik. Ia merupakan figur yang relatif muda dibandingkan senior-seniornya yang juga memenuhi syarat dan menjabat di posisi strategis.
Namun, Listyo dipilih oleh Presiden Joko Widodo, dan DPR menyetujui pencalonannya dengan cepat.
Beberapa pengamat menilai bahwa kedekatan Listyo dengan Presiden menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihannya.
Walau demikian, perlu dicatat bahwa dalam uji kelayakan di DPR, Listyo mempresentasikan visi dan misi yang progresif, termasuk konsep transformasi Polri menuju institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (Presisi).
Gagasan ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, sehingga menunjukkan bahwa meskipun ada pertimbangan non-meritokratis, aspek profesionalisme tetap diperhatikan.
Meritokrasi Adalah Keniscayaan
Michael Young (1958) Dalam bukunya The Rise of the Meritocracy, mengemukakan bahwa meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kedudukan atau posisi berdasarkan bakat atau kemampuan mereka.
Prinsip meritokrasi menekankan bahwa seseorang layak menduduki jabatan berdasarkan kualitas dan prestasi, bukan hubungan personal atau senioritas semata.
Dalam proses pemilihan Kapolri, prinsip ini mengharuskan bahwa calon yang diusulkan adalah individu dengan kompetensi teknis tinggi, pengalaman lapangan yang luas, integritas moral yang tidak diragukan, serta kemampuan manajerial yang mumpuni.
Selain itu, calon Kapolri sebaiknya juga memiliki rekam jejak dalam mengelola institusi secara profesional, bebas dari konflik kepentingan, dan memiliki visi yang sejalan dengan arah reformasi kepolisian.
Menilai calon Kapolri membutuhkan pertimbangan yang cermat dan objektif, dengan memperhatikan sejumlah indikator kunci yang dapat menggambarkan kualitas dan kelayakan seorang kandidat.
Beberapa faktor yang layak dijadikan tolok ukur antara lain adalah pangkat dan jenjang karier yang telah ditempuh, yang mencerminkan dedikasi dan kemampuan seseorang dalam menjalani tugas-tugas kepolisian.
Riwayat penugasan dan keberhasilan dalam posisi-posisi strategis juga sangat penting, karena ini menunjukkan kapabilitas kandidat dalam mengelola situasi dan tantangan besar.
Pendidikan, baik yang berhubungan langsung dengan kepolisian seperti Sespimti dan Lemhannas, maupun pendidikan non-polri yang dapat memperkaya wawasan global, menjadi aspek lain yang tak kalah signifikan.
Selain itu, evaluasi kinerja dan disiplin sepanjang karier juga memberikan gambaran tentang seberapa efektif calon tersebut dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Tak kalah penting, reputasi di mata publik serta komunitas hukum adalah indikator yang tak bisa diabaikan, karena menunjukkan sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan kemampuan seorang calon Kapolri.
Pada akhirnya, meritokrasi dalam pemilihan Kapolri bukan sekadar idealisme birokrasi modern, tetapi kebutuhan riil untuk memastikan kepemimpinan Polri yang profesional, kredibel, dan akuntabel.
Meritokrasi bukan hanya tentang siapa yang paling cakap atau malah siapa yang paling dekat, tetapi tentang menciptakan sistem yang adil bagi semua anggota institusi.
Pemilihan pemimpin tertinggi institusi kepolisian harus menghindari dominasi pertimbangan politik dan afiliasi pribadi, dan beralih kepada sistem yang menempatkan kapasitas, integritas, serta dedikasi terhadap institusi sebagai tolok ukur utama.
Dengan demikian, Polri dapat menjalankan tugasnya secara optimal dan memperoleh kepercayaan dari masyarakat luas.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Ketua MPR RI: Demi Ketertiban Umum, Jangan Biarkan Pisau Hukum Tumpul |
![]() |
---|
Respons Bawaslu Soal MK Sebut Politik Uang Tetap Ada Apapun Sistem Pemilu yang Digunakan |
![]() |
---|
Catatan Ketua MPR RI: Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis |
![]() |
---|
Pria Ini Ubah Jenis Kelamin Demi Rebut Hak Asuh Anak-Anaknya |
![]() |
---|
FH Unisri dan Peradi Surakarta Gelar Semnas Ulas Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.