Revisi UU TNI
Revisi UU TNI 2025: Fakta-Fakta yang Wajib Diketahui Publik
Revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas pemerintah bersama DPR RI telah menjadi sorotan publik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas pemerintah bersama DPR RI telah menjadi sorotan publik.
Beberapa perubahan dalam revisi ini memunculkan kekhawatiran mengenai pengaruh militer dalam kehidupan sipil dan potensi kembalinya dwifungsi ABRI.
Baca juga: Pimpinan DPR Dasco Klaim Pertemuan dengan Aktivis Penolak RUU TNI Capai Titik Temu
Berikut adalah fakta-fakta yang wajib diketahui publik terkait revisi UU TNI:
1. Memperluas Jabatan Sipil untuk TNI Aktif
Salah satu perubahan besar dalam revisi ini adalah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI aktif. Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang berlaku, TNI aktif hanya bisa menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri.
Namun, dalam revisi, terdapat penambahan enam kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung, dan BNPB.
Hal ini memperbesar kemungkinan keterlibatan TNI dalam urusan sipil, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai pengaruh militer dalam pemerintahan sipil.
2. Peningkatan Usia Pensiun Prajurit TNI
Revisi UU TNI juga mengusulkan penambahan batas usia pensiun bagi prajurit TNI.
Sebelumnya, batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama adalah 53 tahun, dan perwira adalah 58 tahun.
Dalam revisi ini, usia pensiun bagi bintara dan tamtama ditambah menjadi 55 tahun, sementara perwira pensiun antara usia 58 hingga 62 tahun, sesuai pangkat atau kebijakan khusus presiden untuk perwira bintang empat.
3. Perubahan Kedudukan TNI
Dalam revisi ini, terdapat usulan perubahan kedudukan TNI yang sebelumnya berada di bawah Presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, serta di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
Revisi ini mengusulkan agar TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, yang akan memperjelas pembagian peran dan tugas antara militer dan sipil dalam pengelolaan pertahanan negara.
4. Penambahan Tugas Operasi Non-Perang
Tugas prajurit TNI juga akan bertambah dalam revisi ini, dengan penambahan tiga tugas operasi militer selain perang (OMSP), yang awalnya 14 menjadi 17.
Beberapa tugas tambahan mencakup mengatasi masalah narkoba dan operasi siber.
Meskipun TNI akan memiliki kewenangan dalam tugas-tugas non-perang, mereka ditekankan tidak akan ikut dalam penegakan hukum.
5. Kembali Munculnya Dwifungsi ABRI?
Sejumlah kalangan mengkhawatirkan revisi ini akan mengarah pada kembalinya konsep dwifungsi ABRI, yang memungkinkan militer terlibat dalam politik dan pemerintahan sipil.
Hal ini mengingat perluasan peran TNI dalam jabatan sipil dan penambahan kewenangan TNI dalam operasional non-perang. Isu ini menjadi titik perhatian utama bagi pihak yang peduli dengan penguatan demokrasi di Indonesia.
6. Keterlibatan TNI dalam Penanggulangan Bencana dan Keamanan
TNI juga akan lebih terlibat dalam penanggulangan bencana alam, pengungsian, dan bantuan kemanusiaan, serta pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
Keterlibatan ini semakin memperkuat peran TNI dalam urusan sipil dan kemanusiaan yang diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan negara dalam menghadapi bencana.
Baca juga: Serukan Penolakan RUU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil Temui Komisi I di Gedung DPR Jakarta
Revisi UU TNI Tak Memuat Pasal Kontroversial
Founder dan Executive Director Trias Politika Strategis Agung Baskoro menyorot bahasan soal RUU TNI yang menurutnya tidak memuat pasal kontroversial.
Menurut Agung setidaknya ada tiga poin utama dari RUU TNI yang sudah jelas.
Pertama, pengaturan organisasional soal kedudukan TNI kemudian.
Kedua, soal masa pensiun prajurit.
Ketiga, terkait penugasan prajurit di jabatan sipil.
“Secara substantif, bahasan soal Revisi UU TNI sejauh ini berjalan sesuai konteks di mana perlu (1) pengaturan organisasional soal kedudukan TNI kemudian (2) soal masa pensiun prajurit dan terakhir (3) Penugasan prajurit di jabatan sipil,” ujar Agung kepada media, Rabu (18/3).
Lebih lanjut, Agung turut menyayangkan respons publik termasuk figur di sosial media yang mudah terbawa pada narasi liar yang belum tentu kebenarannya.
“Secara teknis, karena bahasan hanya mencakup 3 pasal, yakni Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47, maka publik diharapkan lebih fokus serta cermat agar tak mudah terbawa narasi yang menjurus kepada disinformasi, hoax, fitnah, hingga ujaran kebencian,” jelas dia.
Ia mengatakan RUU TNI ini tetap perlu dikawal oleh semua pihak dalam hal ini pemerintah bersama DPR RI secara terbuka dan transparan.
“Perlu terus dikawal oleh semua pihak dan pemerintah bersama DPR sampai sekarang terbuka dengan beragam masukan yang mengemuka karena proses masih berjalan di Komisi 1 dan perlu mendapat pengesahan dari paripurna,” ujarnya.
Agung berharap RUU TNI ke depan dapat menguatkan kolaborasi antara militer dan sipil.
“Di luar itu semua, Revisi UU TNI diharapkan bisa memperkuat kolaborasi Militer - Sipil sekaligus meminimalkan beragam narasi - cerita masa lalu yang belum tuntas sepenuhnya dengan mekanisme monitoring-evaluasi secara komprehensif yang diusahakan bersama,” imbuhnya.
Revisi UU TNI
Ketua MK Tegur DPR Sebab Terlambat Menyampaikan Informasi Ahli dalam Sidang Uji Formil UU TNI |
---|
MK Minta Risalah Rapat DPR saat Bahas RUU TNI, Hakim: Kami Ingin Membaca Apa yang Diperdebatkan |
---|
Cerita Mahasiswa UI Penggugat UU TNI: Dicari Babinsa Hingga Medsos Diserang |
---|
Pakar Tegaskan Mahasiswa hingga Ibu Rumah Tangga Punya Legal Standing untuk Gugat UU TNI |
---|
Bivitri Susanti Soroti Tekanan Terhadap Mahasiswa Pemohon Uji Formil UU TNI: Kemunduruan Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.