Akademisi Soroti Kriminalisasi pada RUU Perkoperasian, Usulkan Sanksi yang Lebih Proporsional
Forkopi menggelar konsinyering mengenai penyusunan RUU Perkoperasian bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Jakarta.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) menggelar konsinyering mengenai penyusunan RUU Perkoperasian bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Sky Ballroom, Hotel Aston, Jakarta Selatan, Kamis (6/3/2025).
Pertemuan ini dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Sturman Panjaitan dari F-PDIP, didampingi Wakil Ketua Martin Manurung dari F-Nasdem dan Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid.
Hadir pula dalam acara ini sekitar puluhan anggota Baleg dari berbagai fraksi di DPR dan juga puluhan anggota Forkopi yang merupakan pengurus koperasi dari sejumlah daerah di Indonesia.
Acara ini diawali dengan paparan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Prof Angkasa dan Prof. Dr. Rena Yulia, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam paparannya, kedua akademisi dan pakar hukum pidana ini mengkritisi adanya sanksi pidana penjara dalam RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Prof Angkasa, menyoroti beberapa pasal dalam RUU Perkoperasian yang dinilai berpotensi overkriminalisasi dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern.
Dalam pemaparannya, Prof. Angkasa menjelaskan bahwa kriminalisasi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama dalam penerapan pidana penjara pendek.
Menurutnya, berdasarkan teori hukum pidana dan kriminologi, hukuman penjara yang terlalu singkat tidak efektif dalam memberikan efek jera, tetapi justru dapat meningkatkan residivisme.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 64M dan 64N, yang mengatur sanksi pidana penjara maksimal 1 tahun bagi pengurus koperasi yang melanggar ketentuan dalam usaha simpan pinjam.
Menurutnya, sanksi ini tidak sejalan dengan konsep ultimum remedium, yaitu menjadikan hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian sengketa.
"Hukum pidana seharusnya digunakan secara proporsional dan hanya sebagai jalan terakhir. Terlalu mudah menjatuhkan sanksi pidana justru bisa merugikan sektor koperasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan," tegas Prof. Angkasa.
Sebagai solusi, Angkasa mengusulkan perubahan sanksi pidana penjara menjadi pidana denda.
"Usulan ini sejalan dengan prinsip pemidanaan yang lebih proporsional dan rehabilitatif, sebagaimana diterapkan dalam hukum pidana modern," katanya.
Dia berharap DPR dapat mempertimbangkan ulang pasal-pasal yang mengandung sanksi pidana penjara dalam RUU Perkoperasian.
Dengan mengutamakan sanksi administratif atau denda, regulasi ini diharapkan dapat lebih adil dan sesuai dengan prinsip hukum pidana modern.
Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Rena Yulia, yang juga mengkritisi dan memberikan sejumlah rekomendasi terkait ketentuan pidana dalam RUU Perkoperasian.
Rena menekankan pentingnya perumusan tindak pidana yang jelas dan proporsional, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Rumusan ketentuan pidana harus memenuhi unsur yang tepat, termasuk subjek hukum yang jelas, perbuatan yang dilarang, serta ancaman pidana yang sesuai. Jika tidak dirumuskan dengan baik, hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan serta menghambat perkembangan koperasi di Indonesia," ujar Prof. Rena.
Dalam kajiannya, Rena menyoroti bahwa hukum pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya bersifat sebagai pengaman norma administratif.
Ini berarti larangan atau kewajiban utama harus diatur dalam norma administratif, sementara ancaman pidana hanya menjadi alat untuk menegakkan norma tersebut.
"Hukum pidana tidak boleh digunakan secara berlebihan dalam regulasi administratif. Seharusnya, pidana hanya digunakan untuk menegakkan aturan yang benar-benar penting dan berpotensi menimbulkan kerugian signifikan jika dilanggar," jelasnya.
Anggota Baleg F-Golkar, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga memberikan tanggapan atas paparan dua akademisi tersebut.
Dia menyoroti aturan pemberian pinjaman kepada non-anggota koperasi. Ia mengusulkan agar ada kejelasan terkait waktu penerimaan sebagai anggota koperasi saat mengajukan pinjaman.
"Pemberian pinjaman kepada non-anggota tidak boleh berlarut-larut. Sebaiknya, mereka langsung diberikan status anggota atau diberikan kartu anggota/kartu kredit saat itu juga untuk menghindari ketidakjelasan status," usul Umbu.
Sementara itu, Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong perubahan keempat RUU Perkoperasian supaya bisa segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang yang baru.
"Karena sudah 33 tahun undang-undang yang lama dan itu sudah tidak mengakomodir kepentingan dari koperasi pada saat ini," katanya.
Menurutnya, berbagai upaya dari Forkopi sudah dilakukan termasuk diskusi dengan banyak pihak, RDPU dengan Baleg DPR RI, termasuk harmonisasi dengan beberapa pihak diantaranya pemerintah.
"Pada intinya kami berharap suara kami ini untuk bisa didengar. Hari ini bisa melihat anggota Forkopi dari Pontianak, Makassar, Yogyakarta, Lampung, Samarinda, ini luar biasa kami semua pejuang koperasi berharap kepentingan kami bisa didengar dan diakomodir supaya kami bisa bersama- sama pemerintah mengembangkan koperasi sesuai keinginan presiden Prabowo yang juga sangat peduli Koperasi," harapnya.
Bahas RUU Perkoperasian, Fraksi Nasdem Dorong Koperasi Masuk Rantai Pasok Global |
![]() |
---|
Amin AK Pastikan Fraksi PKS Kawal Poin-poin Usulan Forkopi dalam RUU Perkoperasian |
![]() |
---|
Forum Koperasi Indonesia Bahas Pasal-pasal Krusial RUU Perkoperasian dalam FGD di Banyuwangi |
![]() |
---|
Jokowi Panggil Menkumham Baru Menghadap, Minta RUU Ini Segera Dituntaskan Sebelum Lengser |
![]() |
---|
Wakil Ketua Komisi VI Minta Pimpinan DPR Segera Tindak Lanjuti Surpres RUU Perkoperasian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.