Penerbit Buku Kompas Luncurkan Karya Jakob Tobing Soal Proses Amendemen UUD, Mahfud MD Beri Respons
Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku karya Mantan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR Jakob Tobing
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku karya Mantan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR Jakob Tobing berjudul "Membentuk Negara Hukum: Esensi Reformasi Konstitusional di Indonesia, 1999-2002" di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta pada Selasa (21/1/2025).
Peluncuran buku tersebut diresmikan dengan penyerahan buku secara simbolik oleh Redaktur Pelaksana Kompas Marcellus Hernowo kepada Jacob.
Buku setebal 600-an halaman itu merupakan disertasi Jacob di Universitas Leiden terkait proses amendemen UUD 1945 dari Oktober 1999.
Diskusi yang digelar usai peluncuruan buku tersebut menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya mantan wartawan senior Kompas Budiman Tanuredjo, pakar hukum Todung Mulya Lubis, dan pakar hukum tata negara Mahfud MD.
Meski topik yang dibahas seputar perubahan Undang-Undang Dasar 1945, namun guyonan-guyonan ringan dan juga perbincangan aktual seputar Mahkamah Konstitusi turut mewarnai jalannya diskusi.
Tanggapan dan pertanyaan yang muncul dari audiens pun seputar perlu atau tidaknya UUD 1945 diamandemen lagi khususnya menyangkut perlu tidaknya UU yang mengatur tentang lembaga kepresidenan hingga seputar kiprah Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Bertemu Wiranto, Pimpinan MPR Sepakat Amendemen UUD 1945 Harus Dilakukan pada Momentum Tepat
Selain memaparkan sejarah proses amandemen UUD 1945, hal yang juga penting dicatat Jakob dalam paparan awalnya menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 sebenarnya hanya dilakukan selama satu kali dalam empat tahapan.
Apa yang disampaikan Jakob tersebut berbeda dengan pandangan sebagian pihak yang memahami amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali yakni 1999, 2000, 2001, dan 2002.
"Proses amandemen Undang-Undang Dasar bukan dilakukan empat kali, tetapi satu kali dalam empat tahap yang berkelanjutan," ujar Jacob.
"Rapat-rapat PAH 1 tidak hanya dipimpin oleh Ketua, tetapi dipimpin bergantian oleh Ketua dan Wakil Ketua. Dalam setiap tahap, anggota PAH membahas berbagai ayat dan pasal Undang-Undang Dasar yang berkaitan," lanjutnya.
Pada akhir paparannya, Jacob menyatakan disertasinya menggambarkan sebagaimana unsur-unsur integralistik dan otoriter pada Undang-Undang Dasar 1945 yang semula dikeluarkan dan diganti dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum.
Baca juga: Amien Rais Yakin Prabowo Subianto Setujui Amendemen UUD 1945
"Sementara pembukaan dan bentuk negara kesatuan dipertahankan," ujar dia.
Budiman juga menyoroti pernyataan Jacob yang menyatakan UUD 1945 bukan diubah empat kali.
Menurutnya, selama ini wartawan muda kerap mencatat bahwa konstitusi telah diubah empat kali.
"Kalau Pak Jacob tidak. Diubah sekali, berkelanjutan sampai ke tahun selesainya 2002. Bukan diubah empat kali. Ini menjadi penting. Kenapa? Karena diubah empat kali itu seakan diubah-ubah terus, tapi empat tahap dan selesai 1999-2002. Itu satu hal yang menurut saya menarik," ungkap dia.
Menutup tanggapannya, ia mencoba memancing diskusi dengan melontarkan pertanyaan perihal muncul atau tidaknya pemikiran soal pasal yang mengatur tentang presiden sebagai lembaga di kalangan PAH ketika melakukan proses perubahan UUD 1945 tersebut.
Menurutnya, dalam konteks kekinian hal tersebut menjadi relevan mengingat munculnya kesulitan untuk membedakan presiden bertindak sebagai Kepala Pemerintahan, presiden bertindak sebagai Kepala Negara, presiden bertindak sebagai penguasa tertinggi atas Angkatan Bersenjata, presiden bertindak sebagai Ketua Umum Partai Politik, dan presiden bertindak sebagai Kepala Keluarga.
"Itu yang generasi muda sekarang bertanya-tanya. Ini kenapa konstitusi dulu tidak memerintahkan ada lembaga kepresidenan itu diatur oleh Undang-Undang, berbeda dengan lembaga-lembaga lain?" ungkap Budiman.
Budiman juga memandang perlu adanya penerjemahan ke berbagai platform terhadap sejarah konstitusi bagi generasi muda.
Hal tersebut, kata dia, agar generasi muda bisa lebih memahami teks-teks konstitusi.
"Dan mungkin juga perlu ada sosialisasi konstitusi dari bukunya Pak Jacob Tobing itu dalam platform-platform yang lain. Kalau baca (buku) seperti ini memang 'mbelenger', tapi yo berat. Hanya orang yang suka dengan pikiran-pikiran seperti ini. Tapi sejarahnya bagaimana sih? Saya nggak yakin anggota DPR yang ada sekarang, mungkin juga tidak memahami apa sebetulnya pikiran-pikiran perancang konstitusi," ungkapnya.
Menanggapi buku tersebut, Todung memandang amandemen UUD 1945 telah membuka jalan perubahan fundamental terhadap negara untuk menjadi lebih demokratis, berlandaskan hukum, dan menghormati hak asasi manusia.
Namun, ia juga memberi catatan terhadap salah satu catatan kaki pada buku tersebut.
"Saya tadi waktu di ruang tunggu, bicara dengan Pak Jacob, saya dulu itu ikut dengan Koalisi Untuk Konstitusi Baru, koalisi masyarakat sipil. Dalam salah satu footnote dalam bukunya Pak Jacob, itu saya dikutip, seolah-olah saya menuduh PAH I menipu rakyat Indonesia," ungkap Todung disambut tawa sejumlah hadirin.
"Sebetulnya bukan itu maksudnya. Yang saya ingin katakan mungkin medianya salah kutip. Yang ingin saya katakan adalah proses perubahan UUD 1945 itu harus lebih partisipatoris. Kalau proses seperti itu hanya dilakukan oleh PAH I, oleh MPR, itu akan terlihat elitis," lanjut dia.
Menanggapi buku tersebut, Mahfud memandang buku yang ditulis Jacob adalah buku yang berani bilang dengan tegas amanademen UUD 1945 lebih baik daripada UUD 1945 sebelum diamandamen.
Menurutnya, jarang yang berani menyatakan hal tersebut.
Mahfud juga menyoroti judul buku tersebut.
"Dan menurut saya ini benar, (amandemen UUD 1945) ini memang baik. Karena isinya adalah dekonstruksi terhadap konsep ketatanegaraan kita. Maka judulnya itu kan 'Membentuk Negara Hukum'. Ini asumsinya, UUD yang diamandemen ini memang bukan negara hukum. Tidak ada di situ kata negara hukum," ungkap dia.
"Orang akan mengatakan itu ada di penjelasan di UUD. Itu kan tulisan Soepomo. Bahwa Indonesia negara hukum itu bukan bagian yang dibuat. Itu ada di penjelasan yang dibuat oleh Soepomo pada Bulan November ya, tiga bulan sudah merdeka lalu tahun 1946 diundangkan dalam Lembaran NegaraNomor 7 Tahun 1946. Jadi tidak ada kata negara huku di UUD yang asli," sambung Mahfud.
Selain itu, Mahfud juga mengungkapkan temuan yang menarik dalam buku tersebut.
Menurutnya salah satu temuan menarik yang juga perlu dicatat dari buku tersebut adalah bagaimana mempertahankan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.
Ia mengingatkan ketika reformasi terdapat gejala munculnya kelompok-kelompok yang ingin mengubah Pancasila.
"Ancamannya apa? Pancasila diganti. Tetapi amandemen ini, PAH I berhasil menghalau. Mengunci dulu dengan kesepakatan-kesepakatan bahwa UUD pembukaannya tidak akan diubah. Dan di situ ada Pancasila. Dasar negara tidak berubah, negara kesatuan tidak berubah, presidensial tidak berubah," kata dia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.