Sabtu, 4 Oktober 2025

Menang Gugatan Penghapusan Presidential Threshold, Mahasiswa UIN Jogja : Sempat Tidak Percaya Diri

Enika Maya Oktavia, Rizki Maulayan Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna berjuang menguji Pasal 222 UU Pemilu

Editor: Eko Sutriyanto
Tribun Jogja/Ardhike Indah
Ki-ka: Rizki Maulayan Syafei, Enika Maya Oktavia, Dekan FSH UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. H. Ali Sodikin, Tsalis Khoirul Fatna, Faisal Nasirul Haq dan Kaprodi Gugun El Guyanie di kampus, Jumat (3/1/2025) 

MASA DEPAN

Keempatnya kompak mengatakan pengajuan uji materiil itu bukan untuk pijakan mereka maju ke dunia politik di masa yang akan datang.

Mereka tidak yakin bisa terjun ke dunia politik dan saat ini masih memilih untuk menjadi akademisi.

“Keluarga saya tidak berkaitan dengan hukum, tidak ada yang masuk politik, kalau ditanya apa saya mau masuk jadi politisi? Tidak. Saya jawab sekarang tidak, untuk saat ini. Kalau ke depannya saya jadi Ahli HTN, atau jadi politisi, saya kurang tahu,” jelas Enika.

Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, juga Tsalis dan Faisal.

“Nantinya apa jadi politisi? Tidak. Latar belakang keluarga saya tak ada yang di dunia politik. Baru saya juga yang jadi mahasiswa hukum. Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya menjadi politisi agar mereka punya akses yang sama,” tukasnya.

Dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru kali ini MK mengabulkan gugatan tersebut.

Selain itu pihak yang mengajukan gugatan merupakan mahasiswa. Gugun pun menyebut ini adalah momentum yang monumental

"Kenapa ini monumental? Karena satu, banyak permohonan judicial review yang ditolak ya soal angka presidential threshold, yang kedua dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN," ujarnya.

Putusan itu menegaskan bahwa MK tidak berada di bawah kekuasaan oligarki atau disetir oleh kekuatan dinasti politik.

"Putusan ini membuat optimisme pendidikan demokrasi dan konstitusi. Karena anak-anak yang masih belajar di perguruan tinggi mempersoalkan satu pasal penting yang lebih dari 30 kali diuji di MK tidak pernah dikabulkan dan momen kali ini dikabulkan," ujarnya. 

Diketahui dalam sidang di Ruang Sidang Pleno, Kamis (2/1/2025), MK memutuskan untuk menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu.

Berdasarkan putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat mahasiswa itu.

Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Kisah Mahasiswa UIN Jogja yang Memenangkan Gugatan Penghapusan Presidential Threshold di MK

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved