Tetua Adat Sihaporas Anak Pejuang Kemerdekaan Cari Keadilan di Jakarta: Apakah di Pusat Masih Ada?
Tetua Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Mangitua Ambarita datang ke Jakarta untuk mencari keadilan terhadap warga.
Sebab itu, kini Mangatua bersama warga komunitas adat lainnya mendatangi sejumlah kementerian dan lembaga negara guna mencari keadilan.
Kementerian dan lembaga tersebut di antaranya Komnas Perempuan, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, LPSK, dan Ombudsman RI.
"Mereka berjanji, beberapa lembaga itu juga akan turun ke lapangan untuk mendalami dan bahkan akan berkordinasi lintas kementerian dan lembaga," kata dia.
"Kita belum melihat ya apa yang mereka lakukan, tapi sebagaimana tadi yang disampaikan teman-teman akan terus memantau ini. Demikian juga di kementerian lain, misalnya Kementerian PPPA itu mereka coba meminta informasi data tentang korban anak kepada kita. Kita sedang bertukar informasi, itu masih, untuk kemudian mereka dalami, kita tidak tahu sampai kapan," sambung dia.
Berdasarkan penuturan keluarga, sebelumnya mereka juga telah bertemu dengan Menteri LHK Siti Nurbaya pada 22 April 2018 di Bandara Kuala Namu Medan dan berjumpa dengan Luhut Binsar Panjaitan pada 2019 lalu.
Anggota tim kuasa hukum dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara yang turut mengadvokasi persoalan itu, Syamsul Alam Agus, menyoroti Peraturan Menteri.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2024 yang memberikan perlindungan hukum bagi para pejuang lingkungan hidup secara lebih merinci.
Dalam aturan tersebut, individu dan kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat mendapatkan jaminan hukum dari ancaman tuntutan pidana dan gugatan perdata.
"Saya kira Peraturan Menteri LHK nomor 10 ini agar menjadi dasar dalam penegakan hukum di lapangan apalagi ketika terjadi konflik antara perusahaan dan masyarakat adat. Jadi jangan dibolak-balik. Masyarakat adat di seluruh Indonesia adalah pejuang lingkungan, perusahaan ini adalah penjahat lingkungan," kata dia.
"Seharusnya polisi melindungi dan membela masyarakat adat dan menghukum para perusahaan yang menjarah hutan, merusak lingkungan, dan mengkriminalisasi masyarakat adat," sambung dia.
Diketahui, belakangan pihak Polres Simalungun menyatakan telah menangkap lima anggota komunitas adat yakni Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, dan Pak Kwin Ambarita.
Kapolres Simalungun AKBP Choky S Meliala mengatakan bahwa penangkapan kelima warga tersebut terkait perusakan secara bersama-sama pada 18 Juli 2024.
"Penjemputan ini merupakan tindak lanjut dari laporan pengrusakan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 KUHP," kata Kapolres AKBP Choky Meliala dikutip dari Tribun-Medan.com.
Atas penangkapan tersebut, pihak masyarakat adat didampingi kuasa hukumnya juga telah berupaya melakukan pra peradilan untuk menggugat penetapan empat tersangka dari lima orang yang ditangkap tersebut.
Namun Hakim Tunggal pra peradilan Anggreana E Roria Sormin menolak gugatan tersebut pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa (20/8/2024) siang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.