Sabtu, 4 Oktober 2025

Kecelakaan Maut di Puncak

Keluarga Korban Kecelakaan Alami Trauma Mental, Kapan Bisa Sembuh?

Ada beragam reaksi emosional muncul ketika keluarga mendengar salah satu anggota keluarganya mengalami kecelakaan ataupun pada saat melihat kondisi.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Kerabat menangis saat jenazah korban kecelekaan bus pariwisata di Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, tiba di rumah duka di Depok, Jawa Barat, Minggu (12/5/2024). Lalu, bagaimana dampak psikologis bagi keluarga korban dan korban kecelakaan itu sendiri? 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berita duka tersiar di akhir pekan lalu, sebuah bus yang mengangkut rombongan siswa SMK Lingga Kencana Depok mengalami kecelakaan saat study tour di Ciater, Subang, Jawa Barat.

Akibatnya, 11 orang meninggal dunia karena kecelakaan nahas ini.

Duka atas kejadian ini tentu terus membekas diingatan keluarga korban yang ditinggalkan selama-lamanya maupun bagi korban yang mengalami luka-luka.

Lalu, bagaimana dampak psikologis bagi keluarga korban dan korban kecelakaan itu sendiri?

Keluarga Korban

Ada beragam reaksi emosional muncul ketika keluarga mendengar salah satu anggota keluarganya mengalami kecelakaan ataupun pada saat melihat kondisi korban.

Di dalam artikel yang berjudul Families' Psychological Fragility during an Emergency, keluarga merasa takut kehilangan korban, marah jika pada saat berada di rumah sakit korban tidak segera mendapatkan penanganan dan sedih jika korban meninggal atau ketika keluarga tidak diijinkan untuk mendampingi korban.

Di sisi lain, keluarga merasakan reaksi penolakan terhadap suatu kecelakaan dan ketika pasien kritis, mereka menjadi takut kehilangan orang yang dicintai.

Keadaan ini membuat mereka rentan terhadap kerapuhan dan pada akhirnya putus asa.

Reaksi pertama yang dialami adalah denial reaction to an accident atau reaksi penyangkalan terhadap peristiwa atau kecelakan yang dialami.

Mereka merasa tidak percaya bahwa anggota keluarga mengalami kecelakaan.

Pada saat yang sama yang keluarga mendampingi pasien merasa takut kehilangan anggota keluarga (fear of losing a loved one), takut jika korban akan meninggal dunia.

Ketakutan ini dirasakan karena kondisi korban yang semakin memburuk.

Kondisi korban dan situasi yang ada di ruang IGD merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan berbagai masalah psikologis, keluarga akan mengalami kerentanan untuk mengalami kerapuhan (vulnerable to fragility) apabila keluarga tidak mampu menghadapi atau beradaptasi terhadap stressor yang dialami.

Terkadang, apa yang mereka alami akan mereka ingat dan menjadi suatu kejadian traumatis yang tidak ingin diingat Kembali (traumatic effect of accidents).

Keluarga merupakan kelompok yang rentan untuk mengalami kerapuhan atau masalah psikologis saat anggota keluarga lain yang terdekat mengalami kecelakaan naas.

Dukungan tersebut bisa menjadi salah satu hal yang dapat memperkuat mekanisme koping yang digunakan oleh keluarga dalam menghadapi situasi krisis sehingga diharapkan keluarga dapat melalui peristiwa tersebut dan tidak mengalami trauma di kemudian hari.

Psikologis Korban Kecelakaan

Kondisi fisik pasien dan kehilangan anggota keluarga dapat menjadi dampak traumatis dari suatu kecelakaan.

Peristiwa traumatis tidak hanya dapat menyebabkan cedera fisik tetapi juga dapat mempengaruhi pasien secara psikologis, menyebabkan gejala stres traumatis akut.

Kondisi ini dikenal sebagai gangguan stres akut atau acute stress rection (ASR) dengan gejala atau reaksi berupa kesulitan tidur atau menyelesaikan aktivitas sederhana sehari-hari.

"Terbangun dengan mimpi buruk, atau merasa cemas bahwa seseorang akan menyerang , "kata seorang pekerja sosial Jennifer M. Schofield seperti dikutip dari Mayo Clinic.

Pasien akan mengalami trauma sekitar dua hari hingga satu bulan setelah kejadian tersebut.

Kondisi ini dapat terjadi akibat peristiwa yang dialami, disaksikan, atau bahkan didengar pasien secara langsung dari anggota keluarga atau teman dekat yang menjadi korban.

Hal ini terutama berlaku untuk orang tua dari pasien trauma anak.

“Tidak ada korelasi antara tingkat keparahan cedera dan potensi seseorang mengalami reaksi stres akut atau bahkan gangguan stres pasca trauma jangka panjang,” kata pakar pediatric Denise B. Klinkner, M.D., M.Ed.

Untuk mengatasi kondisi ini memerlukan dukungan dari orang-orang terdekat, idealnya pula juga membutuhkan perawatan profesional.

Minimal dari keluarga dan teman yang dapat diajak bicara oleh pasien tentang gejala dan trauma yang dialaminya.

Pasien memerlukan konseling untuk membantu memproses trauma, mengatasi gejala tertentu, dan mempelajari strategi penanggulangannya.

"Tidak semua orang yang mengalami peristiwa traumatis akan mengalami ASR, karena setiap orang mengalami trauma secara berbeda" terang.

Selain ASR, ada gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Perbedaan ASR dan PTSD, bisa dilihat berdasarkan waktu.

Gejala yang muncul hingga satu bulan terkait peristiwa traumatis diklasifikasikan sebagai ASR, sedangkan gejala yang lebih dari satu bulan diklasifikasikan sebagai PTSD.

ASR merupakan periode akut, sedangkan PTSD memiliki gejala serupa yang lebih lama.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved