Selasa, 30 September 2025

Pengacara asal Lebak Gugat UU agar Kerabat DPR atau Presiden Tidak Bisa Jadi Hakim MK

Pengacara asal Lebak menggugat UU MK agar orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan DPR maupun Presiden agar tidak bisa menjadi hakim MK.

(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Pengacara asal Lebak menggugat UU MK agar orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan DPR maupun Presiden agar tidak bisa menjadi hakim MK. 

TRIBUNNEWS.COM - Pengacara asal Lebak bernama Mochamad Adhi Tiawarman menggugat Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945.

Dikutip dari lampiran perkara di laman MK, pemohon meminta agar UU Mahkamah Konstitusi (MK) itu ditinjau kembali sehingga bagi orang yang memiliki hubungan darah/semenda dengan anggota DPR atau Presiden tidak bisa menjadi hakim konstitusi.

Adhi meminta agar Pasal 15 ayat (22) UU Nomor 7 Tahun 2020 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai:

"Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum;

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;

e. Mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

g. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan

h. Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.

i. Tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.

Baca juga: Gugatan Usia Pensiun TNI di MK, Hakim Peradilan Militer Ikut Jadi Pemohon

Adhi beralasan gugatan tersebut berlandasakan ketentuan dari Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi:

"Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama." (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945)

"Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang." (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945)

Adhi menganggap Presiden dan DPR jgua berkepentingan dengan UU yang diuji oleh warga negara di MK.

Sehingga, sambungnya dalam petitum, Presiden dan DPR dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 menjadi pihak yang akan mempertahanakan agar UU tidak dibatalkan oleh MK melalui mekanisme uji materil dan atau uji formil.

Adhi mengungkapkan berdasarkan aturan tersebut, maka hakim MK yang memiliki hubungan keluarga sedarah dengan Presiden atau anggota DPR tidak memiliki kebebasan dan independensi dalam mengadili sebuah perkara.

"Berdasarkan kenyataan hukum itu, kata pemohon, maka pada saat seorang hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR, hakim konstitusi tidak berada dalam situasi bebas melaksanakan fungsi yudisialnya dan tidak independen dalam memeriksa, memutus, dan mengadili perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945," katanya dalam petitum.

Baca juga: MK Tunda Sidang Uji Materiil UU ITE yang Diajukan Haris Azhar dan Fatia

Adhi mengatakan adanya ketidakselarasan antara Pasal 15 ayat (2) UU MK dengan Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim yang berbunyi:

"Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat," demikian bunyi pasal tersebut.

Dengan ketidakselarasan ini, pemohon menganggap hakim MK harus terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan langsung dengan objectum litis atau objek yang diadili, in casu terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda hingga derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.

"Pada saat pemohon mengajukan permohonan pengujian undang- undang terhadap UUD 1945 dan permohonan Pemohon diadili oleh hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR maka hal ini telah nyata merugikan Pemohon karena Pemohon tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil," pungkas pemohon dalam salinan permohonan tersebut.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved