Belajar Filosofi Kepemimpinan dan Mental Baja Lewat Basket Ala Erick Thohir
Erick Thohir belum lama ini merilis buku biografi berjudul ‘(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir’ dengan total 315 halaman.
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir belum lama ini merilis buku biografi berjudul ‘(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir’ dengan total 315 halaman.
Pada halaman 20 buku tersebut, terungkap sosok Erick Thohir yang gemar bermain bola basket.
Bahkan, pria yang ingin dikenang sebagai enterpreneur ini belajar kepemimpinan hingga karakter yang tangguh itu melalui olah raga bola keranjang tersebut.
Sejak SD, mantan Presiden Inter Milan inj yelah telah jatuh cinta dengan permainan bola keranjang.
Mimpi dan cita-cita Erick kecil bermuara pada satu tujuan, yakni menjadi pebasket profesional.
Demi merajut mimpinya itu, Erick menekuni segala hal berbau basket.
Mulai dari menonton aksi pebasket profesional NBA, hingga mengikuti latihan ekstrakurikuler maupun klub basket.
Baca juga: Dinobatkan Sebagai Visioner Leader, Erick Thohir: Ini untuk Seluruh Tim Saya, Seluruh Insan BUMN
Sejak bangku sekolah dasar atau SD, Erick berposisi sebagai point guard yang bertugas mengatur permainan.
Dia mesti mengorbankan sebagian egonya demi membuat permainan tim berjalan.
Naluri sebagai point guard atau pemain yang berada di tengah itulah yang membentuk jiwa kepemimpinan Erick.
Sebagai point guard, Erick ibarat pemimpin yang mesti memastikan permainan tim dapat berjalan.
Dia pula yang menjadi mata utama tim saat menyerang pertahanan lawan. Tekanan dari lawan sudah biasa Erick hadapi.
Ada kisah di balik posisi Erick sebagai point guard atau playmaker itu. Pertama, postur tubuh Erick tidak terlalu tinggi untuk berada di posisi lain.
Kemudian, akurasi tembakan ke keranjang (shooting) Erick biasa saja.
Kelebihan Erick justru terletak pada kemampuannya untuk tetap tenang saat memegang bola.
Sebagai pebasket, Erick punya visi akan ke mana bola dia tuju.
Erick kecil juga sempat bergabung dengan klub basket Indonesia Muda.
Baca juga: Lembaga Penelitian Sebut Erick Thohir Tokoh Muda yang Potensial, Ternyata Ini Alasannya!
Di sana dia pertama kali bertemu dengan sahabatnya, Muhammad Lutfi, yang sempat duduk sebagai Menteri Perdagangan.
Bersahabat dengan Eks Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi
Berbeda dengan Erick yang posisinya sebagai playmaker, Lutfi kecil yang tinggi adalah seorang center.
Kolaborasi Erick dan Lutfi jadi andalan klub Indonesia Muda junior.
Erick yang mengoper, Lutfi yang mengeksekusi. Erick yang memimpin penyerangan, Lutfi yang memimpin pertahanan.
Begitulah kolaborasi Erick dan Lutfi yang terbentuk sejak di lapangan basket dan berlanjut hingga kini.
Muhammad Lutfi mengakui bahwa karakter seorang point guard inilah yang selalu ditunjukkan Erick.
“Jiwa kepemimpinannya sudah terlihat sejak di lapangan basket. Mungkin karena memang posisinya sebagai point guard yang selalu mengatur jalannya permainan,” ungkap Lutfi, seperti dikutip dari buku ‘(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir’, Sabtu (19/11/2022).
Baca juga: Indonesia Tuai Dukungan Sebagai Tuan Rumah Olimpiade, Rano Karno: Erick Thohir Punya Peran Strategis
Seperti yang dikatakan Lutfi, karakter seorang playmaker ini yang seakan menular dalam kehidupan Erick sehari-hari.
Di dalam kelas, Erick juga punya karakter kepemimpinan yang kuat.
Tak heran jika sejak SD, dia kerap ditunjuk sebagai ketua kelas.
Baik di dalam maupun luar lapangan, Erick memiliki jiwa kompetisi yang sangat tinggi.
Sejak SD, Erick tidak pernah keluar dari peringkat lima besar di kelas.
Namun, cerita hidup mengantarkannya pada takdir berbeda ketika memasuki masa SMA.
Ketika itu, Erick memutuskan untuk bersekolah di SMA yang menjadi gudangnya pemain basket di Indonesia, SMA 3 Jakarta.
Sayangnya, persaingan untuk menembus tim utama SMA 3 sangat ketat.
Baca juga: Cara Erick Thohir Bantu Nelayan Muda agar Lebih Produktif
Erick akhirnya menyadari bahwa dengan tinggi badannya yang kurang dari 170 sentimeter, akan sulit baginya untuk menjadi atlet basket profesional.
Oleh karenanya, sejak memasuki bangku kelas 3 di SMA, Erick mulai melupakan mimpinya untuk terjun sebagai atlet basket profesional.
Walau tidak menjadi atlet, tapi basket-lah yang membentuk jiwa kepemimpinan serta memperkokoh mentalnya.