Minggu, 5 Oktober 2025

Sejarah Kebaya, Pakaian Tradisional Jawa dalam Gerakan Kebaya Goes to Unesco

Sejarah Kebaya, pakaian Tradisional Jawa dalam gerakan Kebaya Goes to Unesco yang melakukan kegiatan rafting di Badung, Bali pada 27-28 Oktober 2022.

Pinterest
Maudy Ayunda mengenakan Kebaya tradisional Jawa - Berikut ini sejarah kebaya, pakaian tradisional yang menjadi fokus dari gerakan Kebaya Goes to Unesco. 

Pakaian perempuan Eropa yang tinggal di Loji juga memiliki karakteristik yang sama dengan perempuan Jawa.

Namun perempuan Eropa memberikan aksen Barat, berupa penggunaan kain yang lebih berkualitas.

Pemilihan kain brokat dan bahan kain renda membuat busana Kebaya Jawa menjadi busana bergaya Eropa.

Baca juga: Forum Bhinneka Indonesia Dorong Kebaya Digunakan dalam Kegiatan Keseharian

Peserta kongres KOWANI yang mengenakan kebaya
Peserta kongres KOWANI yang mengenakan kebaya (tradisikebaya.id)

Busana Kebaya untuk Semua Kalangan

Awal abad ke-20, muncul Politik Etis atau Cultuur Stelsel di Indonesia.

Munculnya Cultuur Stelsel juga dirasakan langsung oleh perempuan Tionghoa, khususnya untuk mengikuti tren Kebaya milik perempuan Eropa.

Busana Kebaya khas Tionghoa terbuat dari kain berwarna merah menyala, dengan hiasan sulam berbentuk bunga atau binatang sebagai perlambangan busana tradisional China.

Awal abad ke-20, busana Kebaya tampil sebagai perwakilan tiga etnis perempuan yaitu Jawa, Eropa, dan Tionghoa.

Kala itu, perempuan Eropa mulai mengalami krisis identitas sebagai perempuan Eropa namun ingin menyesuaikan diri dengan Kebaya.

Perempuan Eropa di perkotaan seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang enggan mengenakan Kebaya karena takut kehilangan jati diri sebagai orang Eropa.

Namun, ada juga perempuan Eropa yang masih mau mengenakan kebaya dan sarung sebagai bentuk dari kebudayaan setempat.

Di pedalaman Jawa, masih banyak perempuan Eropa yang mengenakan kebaya.

Hal ini mengakibatkan pemerintah Belanda membuat kebijakan agar perempuan Eropa mau mendalami dan membekali diri dengan adat setempat.

Kebijakan tersebut mendorong Njonja atau perempuan Eropa, memiliki peran ganda sebagai orangtua dari anaknya dan orangtua dari pelayan Jawanya.

Njonja juga dituntut untuk dapat belajar Bahasa Melayu, dan mengenakan pakaian adat setempat.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)(TribunBali/Ni Luh Putu Wahyuni Sari)(TribunnewsWiki.com/Ibnu Rustamaji)(BoboGrid.id/Yomi Hanna)

Artikel lain terkait Kebaya

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved