Kasus Lukas Enembe
Muncul Desakan Jemput Paksa Lukas Enembe, KPK Beri Tanggapan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi tanggapan terkait desakan jemput paksa pada Gubernur Papua Lukas Enembe.
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe.
Desakan tersebut bahkan menjadi topik trending di media sosial Twitter, Selasa (11/10/2022) hari ini.
Diketahui, Lukas Enembe sudah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK.
Kondisi kesehatan menjadi alasan pihaknya tak kunjung menghadiri panggilan tersebut.
Ketua KPK, Firli Bahuri menyinggung soal hak asasi manusia (HAM) saat ditanya kemungkinan melakukan jemput paksa Lukas Enembe.
Menurutnya, KPK menghormati HAM sebagai salah satu prinsip pelaksaan penanganan hukum.
Baca juga: Alasan Lukas Enembe Hanya Mau Diperiksa Dokter dari Singapura, Sudah Dirawat Mereka Hampir 8 Tahun
"Kita bekerja tetap, karena prinsip-prinsip tugas pelaksanaan hukum KPK itu, satu kepentingan umum, dua transparan, tiga akuntabel, empat proporsionalitas dan lima itu tentu menjamin kepastian hukum."
"Dan keadilan yang juga tidak kalah penting adalah menegakkan, menghormati HAM. Saya kira itu," kata Firli.
Firli meminta Lukas Enembe untuk memenuhi panggilan pemeriksaan agar kasus juga dapat segera selesai.
"Saya kira ini akan bisa selesai bilamana Pak Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua, yang terpercaya sudah dua kali jadi gubernur, tentu beliau adalah warga negara yang baik, dan kita berharap beliau akan penuhi panggilan KPK," katanya.
Firli pun berharap Lukas Enembe bisa segera memberikan keterangan pada pihaknya.
Ia mengungkapkan, KPK sampai saat ini masih melakukan komunikasi dengan pengacara Lukas Enembe.
Kasus Lukas Enembe Tak Bisa Lewat Hukum Adat
KPK enggan menyelesaikan kasus dugaan suap dan gratifikasi Gubernur Papua Lukas Enembe secara adat.
Hal itu disampaikan KPK menjawab permintaan pengacara Lukas Enembe, Aloysius Renwarin.
Aloysius sebelumnya meminta KPK menyelesaikan kasus Lukas Enembe secara adat karena memandang kliennya sebagai tersangka tokoh besar Papua.
"Sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia diakui keberadaannya."
"Namun untuk kejahatan, terlebih korupsi maka baik hukum acara formil maupun materiil tentu mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (11/10/2022) dilansir Tribunnews.
Menurut Ali, hukum adat hanya akan memberikan sanksi moral kepada pelaku tindak kejahatan, dalam hal ini Lukas Enembe.
Makanya, kata Ali, hukum adat tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum positif sesuai undang-undang yang berlaku.
"Justru KPK menyayangkan pernyataan dari penasihat hukum tersangka, yang mestinya tahu dan paham persoalan hukum ini, sehingga bisa memberikan nasihat-nasihat secara professional," kata Ali.
"Kami khawatir statement yang kontraproduktif tersebut justru dapat menciderai nilai-nilai luhur masyarakat Papua itu sendiri," katanya.
Baca juga: KPK Belum Mampu Periksa Lukas Enembe, Firli Bahuri Sebut Pihaknya Hormati HAM
Sebagai informasi Lukas Enembe telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus gratifikasi sebesar Rp 1 miliar.
Namun, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut kasus Lukas Enembe tak hanya soal gratifikasi dan suap, melainkan dugaan korupsi hingga ratusan miliar.
Dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mengklaim menemukan sejumlah transaksi menucurigakan dari Lukas Enembe.
Ada 12 temuan PPATK, salah satunya terkait setoran tunai yang diduga disalurkan Lukas Enembe ke kasino judi.
Kemudian, PPATK juga menemukan setoran pembelian jam tangan mewah senilai setengah miliar secara tunai.
Dengan sejumlah temuan tersebut, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri pun menyatakan akan mengembangkan kasus ini ke arah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Hal itu bisa dilakukan setelah KPK nantinya menemukan bukti yang cukup bahwa uang diduga hasil suap dan gratifikasi telah disamarkan atau dibelanjakan.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Ilham Rian Pratama) (Kompas.com/Dian Erika)