MAKI Bongkar Fenomena Transaksional di Masyarakat, Sering Kali Pencalonan Habiskan Dana Miliaran
Fenomena transaksional ini, menurut Boyamin, sudah mengakar di masyarakat, maka kalau ada yang membawa uang harus dikasih upah
TRIBUNNEWS.COM - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Boyamin Saiman menjelaskan bahwa fenomena transaksional itu sudah mengakar di masyarakat.
Khususnya terkait dengan pemilihan calon-calon wakil rakyat, bahkan dilingkup daerah sekalipun.
"DPR, DPRD rasanya tidak mungkin kalau tidak ada yang nyawer, kemarin di Dapil V di Solo itu ada yang menyampaikan, tim suksesnya habis 40 miliar, bahkan sampai 60 miliar untuk (pencalonan) DPR RI," kata Boyamin dikutip dari YouTube PPATK Indonesia dalam Tema Fenomena Korupsi Kepala Daerah, Jumat (30/9/2022).
Fenomena transaksional ini, menurut Boyamin, sudah mengakar di masyarakat.
"Transaksional itu sudah mengakar di masyarakat, maka kalau ada yang membawa uang harus dikasih upah."
"Pada level tertinggi, seorang oknum DPR malah mematok, ia meminta 10 persen atau sampai di 12 persen," lanjut Boyamin.
Baca juga: Boyamin Saiman Sindir Lukas Enembe: daripada ke Luar Negeri, Mending Buka Saja Kasino di Papua
Menurut Boyamin, hal itu sering kali terjadi, terlebih ketika oknum tersebut harus mengembalikan modal pencalonannya.
"Kemudian, untuk mendapatkan jabatannya memang mahal, maka dia harus kembali modal."
"Jadi kalau DPR setelah selesai jabatannya itu ada dua, masuk penjara atau punya uang."
"Kalau ingin punya uang, ya potensinya dia pelit. Kalau pelit maka tidak mungkin ia dicalonkan lagi."
"Jadi kalau dia (oknum DPR tersebut) mau dipilih lagi ya mereka harus memberikan sesuatu, maka dia (mau tidak mau) harus korupsi," jelas Boyamin.
Padahal, resiko korupsi adalah harus mau ditangkap dan masuk penjara.
Menurut Boyamin, DPR, DPRD ataupun Kepala Daerah sebenarnya berada di posisi di tepi jurang.
"Jadi mereka-mereka ini di tepi jurang sebenarnya, kehidupan DPRD atau Kepala Daerah ini," sambung Boyamin.
Dalam penelusurannya, biaya yang dikeluarkan untuk seseorang yang menginginkan jabatan itu bermacam-macam jumlahnya.
"Rp 40 sampai Rp 50 miliar di kursi DPR, kalau Kepala Daerah, Bupati, Wali Kota atau Gubernur itu sekitar Rp 200 miliar katanya angka-angkanya disitu."
"Itu yang memang level-level tinggi, tapi kalau yang (level) bawah ya 50 miliar, ada yang katanya 20 miliar tapi saya nggak percaya," terang Boyamin.

Baca juga: Periksa Boyamin Soal TPPU Bupati Budhi Sarwono, KPK Cecar Kewenangannya Selaku Direktur PT Bumi Rejo
Boyamin pun menceritakan dirinya pernah bertemu dengan seseorang yang kalah dalam pencalonan.
"Kalau di daerah Jawa, kira-kira Rp 20 -50 miliar, makanya sampai hutang-hutang."
"Saya pernah bertemu dengan orang yang kalah (pencalonan) itu hidupnya jadi betul-betul miskin, padahal dulu kaya."
"Kalau yang jadi (pencalonan) itu saya tanya, katanya modalnya kembali itu sudah bagus daripada dipenjara," jelas Boyamin.
Para Pemodal Pemilihan
Sementara itu, uang-uang tersebut, lanjut Boyamin, adalah hasil penggalangan dari banyak atau bebrapa pihak pemodal yang tak lain adalah petaruh dan bandar.
"Mereka yang mencarikan dana adalah para petaruh, untuk judi, untuk taruhan, seperti tinju, siapa menang siapa kalah."
"Itulah maka bandar ini berupaya untuk memenangkan taruhannya, maka kemudian mereka meminjami jumlah uang yang banyak kepada calon, dan akan ditagih nanti," ujar Boyamin.
Bahkan para bandar ini terkadang mendapatkan jaminan sertifikat tanah si pencalon.
"Ada pula yang menjadikan sertifikat tanahnya menjadi jaminan, dan telah diberikan kepada si bandar atau petaruh tadi."
"Sebenarnya dia (si bandar) juga sudah menang, tapi masih menggorok orang yang dijagokan (orang yang mencalonkan diri atas posisi tertentu) juga."
"Jadi kira-kira si bandar atau petaruh ini memantau kepada calon yang kira-kira tidak akan jadi (menang dalam pemilihan)."
"Bandar-bandar ini lah yang kemudian melakukan serangan fajar, dan membalik ramalan orang, sehingga (lawan) lainnya menjadi kalah," jelas Boyamin.
Baca juga: MAKI Desak KPK Jemput Paksa Lukas Enembe, Singgung Kasus Setya Novanto: Terkesan Tebang Pilih
Bandar atau petaruh ini biasanya diam dulu, mengamati permainan, barulah beraksi.
"Meski semua orang memilih orang yang berpotensi jadi, (petaruh) ini nanti akan menggalang (dana) untuk calon yang kira-kira posisi kedua (tidak menang), dia dipacu sehingga bertaruh dimana-mana untuk menjadi nomor satu."
"Bandar atau petaruh ini biasanya diam dulu, baru kemudian nyaplok (memangsa), disitulah permainannya bandar-bandar yang kira-kira bermain di Jawa Timur dan Jawa Tengah."
"Di Patura seperti itu dan berkembang di wilayah selatan, kalau bicara wilayah Jawa ini," kata Boyamin.
Dalam teknisnya, para bandar biasanya bergerak dengan bantuan para kader yang memastikan masyarakat memilih calon yang digajokan si bandar.
"Dan bahkan ada yang pakai magic juga, duitnya (serangan fajar) ini sudah dibawa ke gunung kalau ada yang menipu (dan tidak memilih yang memberikan uang) nanti sakit perut hingga akhirnya meninggal, ada yang sampai begitu."
"Jadi jangan dikira tidak secanggih itu, jangan dikira masyarakat sudah terima uang lalu tetap milihnya sesuai hati nurani," ujar Boyamin.
Apabila calon yang dijagokan jadi, maka selanjutnya mereka akan menitipkan proyek-proyek mereka ke dinas-dinas.
"Kalau calon yang dijadikan jadi, pasti selanjutnya akan menitipkan proyek-proyek mereka ke dinas-dinas."
"Nilainya dibuat tinggi, uangnya dibagi-bagi dan spefikasi (bahan yang digunakan) jatuh," jelas Boyamin.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)