OTT KPK di Probolinggo
Wibi Andrino Klaim Tak Ditanya Penyidik KPK soal Aliran Uang Bupati Probolinggo ke NasDem
Wibi mengaku bukan menerima mobil, melainkan membelinya dari Hasan Aminuddin. Dia mengaku transaksi jual beli mobil itu terjadi pada 2020
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino mengaku hanya ditanyai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seputar transaksi jual beli mobil milik kolega separtainya, Anggota DPR RI Hasan Aminuddin.
Kemenakan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh itu mengaku penyidik tidak ada bertanya mengenai dugaan aliran dana hasil rasuah Hasan dan sang istri, Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana Sari ke NasDem.
"Tidak ada, tidak ada pertanyaan tentang itu," ucap Wibi usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (8/3/2022).
Di sisi lain, Wibi meyakini tak ada aliran duit hasil korupsi ke NasDem.
Selama pemeriksaan, lanjut Wibi, dirinya ditanya penyidik seputar transaksi mobil.
"Kurang lebih ada sekitar belasan pertanyaan," kata dia.
Wibi mengaku bukan menerima mobil, melainkan membelinya dari Hasan Aminuddin.
Dia mengaku transaksi jual beli mobil itu terjadi pada 2020 silam.

"Jadi mobil itu yang dikonfirmasi oleh pihak KPK. Saya diminta untuk menjelaskan bukti-bukti jual belinya," ujar Wibi.
Baca juga: Diperiksa KPK, Keponakan Surya Paloh Akui Beli Mobil dari Tersangka Kasus TPPU Probolinggo
Mengenai dugaan mobil tersebut dibeli dari hasil korupsi Hasan dan Bupati Probolinggo, Wibi menyerahkan kepada penyidik untuk mendalami statusnya. Namun, dia memastikan membeli mobil tersebut.
"Kami hanya melampirkan ke penyidik, biar penyidik nanti bisa menilai," tutur dia.
Seperti diketahui, KPK telah menetapkan Puput Tantriana Sari dan suaminya, Anggota DPR RI Fraksi NasDem Hasan Aminuddin sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang.
Penetapan ini merupakan pengembangan kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan atau jual beli jabatan penjabat kepala desa (kades) di Pemkab Probolinggo yang menjerat Puput, Hasan, dan 20 orang lainnya.
Dalam kasus jual beli jabatan kades, Puput dan Hasan mematok tarif Rp20 juta untuk aparatur sipil negara (ASN) yang ingin menjadi pejabat kepala desa.
Tak hanya uang Rp20 juta para calon pejabat kepala desa juga wajib memberikan upeti dalam bentuk penyewaan tanah ke kas desa dengan tarif Rp5 juta per hektare.