Senin, 6 Oktober 2025

Pendekatan Yurisdiksi Bisa Jadi Cara Baru Membuat Perencanaan Keuangan Daerah

Mekanisme insentif keuangan jadi kunci untuk mengkonsolidasikan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas sektoral dan multipihak pada tingkat kabupaten

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
KONTAN/Carolus Agus Waluyo
Ilustrasi Uang 

Laporan  Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pendekatan yurisdiksi (JA) kini bisa menjadi metode baru dalam merancang perencanaan keuangan daerah untuk mencapai keselarasan lintas sektor yang berkelanjutan dari green prosperity.

JA pada dasarnya merupakan pendekatan terpadu untuk mengharmonisasikan tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan lewat partisipasi berbagai pemangku kepentingan lintas sektor yang dipimpin kepala pemerintahan baik di tingkat nasional maupun di tingkat sub-nasional.

Dengan bermunculan inisiatif JA yang dilakukan di beberapa yurisdiksi menjadi krusial untuk melihat potensi pendanaan hijau untuk mengakselerasi upaya kabupaten yang berprestasi menuju pertumbuhan rendah karbon, produksi komoditas berkelanjutan sekaligus mengedepankan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang inklusif.

CEO Landscape Indonesia Agus Sari mengatakan, mekanisme insentif keuangan menjadi kunci untuk mengkonsolidasikan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas sektoral dan multipihak pada tingkat kabupaten untuk menuju Green Prosperity (kemakmuran hijau).

Pertemuan JCAF #3 untuk mengidentifikasi adanya fasilitas keuangan, jenis instrumen pendanaan dan mekanisme yang diberlakukan untuk kabupaten serta bagaimana pendekatan Yurisdiksi dapat mengakselerasi pendanaan untuk masuk baik lewat penguatan sistem perencanaan dan mekanisme pelaporan, pemetaan prioritas, sistem regulasi dan beragam lainnya.

Baca juga: Rayakan Hari Fintech Nasional, Aftech Hadirkan Kegiatan Literasi Keuangan hingga Promosi Brand

Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 150 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

Pendekatan JA dapat digunakan untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.

Di saat yang sama sektor swasta pun memperkuat penerapan sistem lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan selaras dengan meningkatnya investasi yang berkelanjutan.

“JA mendapatkan momentum dan dipilih oleh sejumlah pihak untuk membantu dan mengurangi deforestasi dan juga emisi namun tetap mengedepankan pertumbuhan masyarakatnya," ungkap  Agus Sari, Kamis (11/11/2021).

Dia menambahkan, JA juga dipakai oleh pelaku usaha yang memerlukan kepastian sourcing yang berkelanjutan dalam rantai pasok lewat upaya sertifikasi berkelanjutan pada tingkat yurisdiksi. Sebuah trend konsolidasi menuju pembangunan hijau.

Baca juga: BI: Pencatatan Keuangan Syarat UMKM Naik Kelas

"JA menjadi kasus investasi yang menarik untuk melihat potensi investasi di tingkat yurisdiksi (kabupaten) karena lebih efisien sekaligus menjawab permasalahan pelik terhadap penanggulangan deforestasi di Indonesia yang memerlukan pendanaan yang besar,” ungkapnya.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Dr, Djoko Hendratto, M.B.A menambahkan, 

Dia menambahkan, pendanaan nasional untuk mengatasi masalah iklim di Indonesia setiap tahunnya mencapai 260 juta USD sementara APBN hanya terserap sekitar 30-40%.

Dengan demikian, di tingkat daerah perlu mencari pembiayaan inovatif yang dapat digunakan untuk memprioritaskan pembangunan lingkungan yang dapat mengkonsolidasi berbagai kepentingan dan amannya ekosistem yang lebih efektif.

Selain adanya instrumen BPDLH, pemerintah nasional juga mendorong adanya inovasi untuk mengembangkan bisnis model lewat pemanfaatan jasa lingkungan melalui metode blended finance hingga membangun sebuah unit investasi yang beroperasi secara bisnis di tingkat kabupaten.

“IRU ini nanti akan bergerak bersama dengan investasi atau blended atau debt management unit yang disusun dalam bentuk UPTD. Kalau bisa nanti BLUD atau BUMD yang kemudian dia dipisahkan dari dinas," kata Joko.

"Di sinilah kemudian kita bicara era blended finance. Kenapa ada BPDLH akan menjadi menarik kalau kemudian daerah juga bicaranya era baru pembentukan BPLHD supaya daerah bisa keluar dari ketergantungan APBN-APBD,” ungkap Joko Tri Haryanto.

Selaras dengan hal tersebut penting untuk mempersiapkan kabupaten secara kelembagaan dapat mengelola investasi hijau lewat pemenuhan indikator KDSD yang mendorong prinsip inklusifitas atau gotong royong guna memungkinkan semua pihak mendapatkan peran sesuai dengan cakupan prioritas yang beragam antar Yurisdiksi, mencakup perlindungan gambut, perbaikan kanal, pegembangan desa peduil gambut, peningkatan kapasitas petani dan produksi, lainnya.

Head of Secretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani mengatakan, hal yang bisa dipelajari terkait JA akhirnya dapat diwujudkan melalui 1 portofolio di level tapak atau perdesaan dalam pengembangan di level kabupaten.

Menurut dia, ada 7 elemen yang sedang diuji coba untuk kawasan perdesaan, yakni perencanaan, kerangka peraturan pola gotong royong lintas pihak dan rencana aksi bersama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk pengembangan produk dan jasa ramah lingkungan ramah sosial oleh badan usaha berbasis masyarakat.

"Praktek JA seperti ini punya potensi menghubungkan lintas sektor termasuk komoditas, energi, limbah dan bahkan logistik. Model ini harapannya dapat dikembangkan sebagai titik awal transformasi rantai pasok,” ungkapnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved