Tes Keperawanan
Cerita Purnawirawan Polri Bintang Satu Menentang ''Tes Keperawanan''
Brigjen Pol (Purn) Sri Rumiati menceritakan pengalamannya menentang "tes keperawanan" dalam proses seleksi calon anggota Polri.
Kemudian, kata dia, saat itu Indonesia juga sudah meratifikasi Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 yang pada pokoknya menyatakan negara menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Karena tugas utama polisi jelas menegakkan hukum, kata dia, maka kewajiban polisi juga harus menghormati dan melaksanakan Undang-Undang tersebut.
Saat itu, para peserta dalam forum diskusi untuk menentukan persyaratan seleksi Bintara Polri dan Akpol tersebut menanyakan terkait Undang-Undang tersebut.
Sri kemudian menyampaikan bunyi Undang-Undang tersebut kepada mereka.
Ia yang masuk kepolisian sebagai psikolog mengatakan kerap menangani menangani masalah perempuan dan anak-anak baik dia sebagai korban, pelaku, maupun saksi selama masih aktif di Kepolisian.
Selain itu, ia pun pernah melakukan penelitian bersama Universitas Gadjah Mada pada 2002 tentang bagaimana polisi menangani kasus-kasus KDRT.
Menurutnya berdasarkan penelitian itu polisi banyak dihujat karena banyak korban perkosaan yang tidak ditangani.
Baca juga: Pengamat Militer Pertanyakan Penghapusan Tes Keperawanan dalam Rekrutmen Kowad
Ia mengatakan hal tersebut merupakan dampak dari terjadinya kerusuhan 1998 dan di dalam Undang-Undang sulit bagi polisi untuk melakukan penanganan tersebut.
"Jadi karena saya menangani anak-anak yang menjadi korban perkosaan, saya terus terang saja sangat sensitif dengan masalah ini," kata Sri.
Logika Sri sederhana
Negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Namun apabila negara tidak bisa melindungi korban perkosaan akibat konflik misalnya, apakah institusi negara seperti Polri harus mewajibkan "tes keperawanan" juga kepada para korban tersebut?
Ia pun mempertanyakan apakah para korban tersebut serta merta menjadi amoral lantaran mereka diperkosa saat konflik terjadi.
"Kalau tes ini diberlakukan, berarti kita juga menutup masa depan mereka untuk mengabdi kepada negara melalui polisi maupun TNI. Karena itu sudah sangat jelas, tahun 1984 pun saya sebelum masuk, itu dilaksanakan tes itu," kata dia.
Akhirnya, kata Sri, pada saat itu disepakati, pada proses seleksi calon Bintara Polri dan Akpol tahun 2006 "tes keperawanan" tidak boleh dilakukan tetapi tidak dalam bentuk hitam di atas putih.