Pimpinan DPR Sebut Pandemi Jadi Alasan Hanya 55 Persen Anggota Dewan yang Telah Serahkan LHKPN
Dasco mengatakan hal tersebut bisa dimaklumi lantaran masa pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas para anggota dewan menjadi terbatas.
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Ri Sufmi Dasco Ahmad menanggapi soal pernyataan KPK yang mengatakan 50 persen belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Dasco mengatakan hal tersebut bisa dimaklumi lantaran masa pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas para anggota dewan menjadi terbatas.
"Mengumpulkan data dan lain-lain mungkin juga menjadi kelewat. Tetapi apa yang disampaikan KPK itu akan kita sampaikan, kita imbau kepada kawan-kawan untuk melaporkan ke kpk supaya angkanya itu kan baru 55 persen kan," kata Dasco kepada wartawan, Kamis (19/8/2021).
Namun, soal tenggat waktu, Dasco tak bisa menetapkan hal itu, sebab soal pelaporan kembali ke masing-masing anggota dewan.
Baca juga: Laporan LHKPN Anggota DPR Menurun, Sahroni: Yang Bandel Harus Diberi Sanksi
"Sebenarnya soal kepatuhan itu kan soal orang perorang. Kita kan enggak boleh kasih tenggat waktu, karena kan itu hak mereka," katanya
"(Tapi) kita akan imbau supaya secepat mungkin melaporkan," pungkas elite Partai Gerindra itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pelaporan harta kekayaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurun.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebut, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) anggota dewan tercatat hanya 55 persen.
Hal itu terungkap dalam jumpa pers 'Capaian Kinerja Bidang Pencegahan dan Stranas KPK Semester I' di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/8/2021).
Baca juga: KPK: Tingkat Kepatuhan Pejabat Legislatif Serahkan LHKPN Terjun Bebas Selama Semester I 2021
"Ada berita buruk, bidang legislatif menurun drastis. Tahun lalu DPR dan DPRD yang melapor LHKPN sudah 100 persen karena KPU mensyaratkan kalau mau maju harus kasih LHKPN, sekarang DPR jatuh tinggal 55 persen dan DPRD tinggal 90 persen," kata Pahala.
Hingga pertengahan Juni 2021, diungkapkan Pahala, rata-rata kepatuhan pelaporan LHKPN adalah 96,31 persen.
"Rata-rata ini lebih baik dari tahun kemarin. Kami ucapkan terima kasih juga untuk bidang legislatif tahun lalu 100 persen melaporkan, PR-nya bagaimana 55 persen dan 90 persen ini bisa naik ke 100 persen," ujar Pahala.
KPK menerima sebanyak 363.638 LHKPN dari total 377.574 wajib lapor.
Rinciannya adalah:
1. Bidang eksekutif: 294.864 LHKPN (96,44 persen).
2. Bidang legislatif: 17.923 LHKPN (89,27 persen).
3. Bidang yudikatif: 19.473 LHKPN (98,46 persen).
4. BUMN/BUMD: 31.378 LHKPN (98,15 persen).
"Jadi mungkin dengan pelaporan sepenuhnya elektronik lebih sederhana karena ada fitur 'e-Announcement'. Terima kasih juga rekan-rekan media yang sering mengecek e-LHKPN, kalau manusia yang disebut (di media) tidak lapor LHKPN wah celaka," kata Pahala.
Pahala menyebut berdasarkan fitur e-Announcement di aplikasi e-LHKPN, telah diakses sebanyak 317.318 kali dengan lima kota pengakses terbesar, yaitu Jakarta (100.316), Medan (19.142), Surabaya (18.421), Makassar (13.546), dan Bandung (12.635).
"Selain menerima LHKPN, kami juga melakukan pemeriksaan LHKPN yaitu sebanyak 92 laporan biasanya dari teman-teman penindakan," sebut Pahala.
Sebanyak 92 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dilakukan Direktorat LHKPN KPK atas permintaan internal, di antaranya terkait proses seleksi hakim agung dan pengembangan perkara.
"Hasilnya kami sampaikan ke teman-teman penindakan termasuk waktu seleksi hakim agung. KY (Komisi Yudisial) teratur meminta soal LHKPN bukan hanya apakah sudah memasukkan LHKPN atau belum, tapi ada pendalaman misalnya rekening banknya aneh atau tidak, kami kasih komentar kecil," kata Pahala.
Kata Pahala, setelah penyelenggara negara menyerahkan LHKPN, KPK lalu melakukan pemeriksaan dan dilanjutkan klarifikasi.
"Biasanya di sini ketahuan ada anehnya misalnya melaporkan rumah nilainya Rp100 juta, tapi mobil Rp4 miliar, jadi diklarifikasi lalu kita surati, tapi kalau ternyata orangnya sudah masuk ke penindakan, itu tidak klarifikasi lagi tapi langsung kita cari datanya," katanya.
Penyelenggara negara yang wajib menyerahkan LHKPN berdasarkan peraturan perundangan adalah: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Direksi, Komisaris dan pejabat struktural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD;
Selanjutnya (8) Pimpinan Bank Indonesia; (9) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; (10) Pejabat Eselon I dan II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; (11) Jaksa; (12). Penyidik; (13) Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan Bendaharawan Proyek;
Kemudian (14) Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; (15) Pemeriksa Bea dan Cukai; (16) Pemeriksa Pajak; (17) Auditor; (18) Pejabat yang mengeluarkan perizinan; (19) Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan (20) Pejabat pembuat regulasi
Sanksi bagi mereka yang tidak menyerahkan LHKPN diatur Pasal 20 UU Nomor 28 Tahun 1999 yaitu pengenaan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya pada Pasal 21 ayat (1) Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, KPK dapat memberikan rekomendasi kepada atasan langsung atau pimpinan lembaga tempat Pejabat Negara (PN) berdinas untuk memberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.
Jika masyarakat memiliki informasi bahwa harta yang dilaporkan oleh PN tidak sesuai dengan kenyataan, dapat melaporkan kepada KPK melalui fitur yang tersedia pada aplikasi e-LHKPN.
KPK akan menindaklanjuti laporan dari masyarakat tersebut dengan melakukan klarifikasi kepada penyelenggara negara terkait.