ICW Desak Hakim Konstitusi Kabulkan Uji Formil dan Uji Materiil UU KPK Baru
Pertama, dikatakan Kurnia, Presiden dan DPR telah menihilkan nilai demokrasi saat membahas revisi UU KPK.
"Untuk independensi, UU KPK baru menabrak putusan MK tahun 2006 dan tahun 2011," sebut Kurnia.
Sedangkan SP3 melanggar putusan MK tahun 2003 yang telah meletakkan pondasi independensi kelembagaan KPK sebagai suatu hal utama bagi lembaga pemberantasan korupsi.
"Mengingat putusannya yang bersifat final dan mengikat, maka pasal dalam UU KPK baru mesti dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak ditafsirkan sebagaimana telah diputuskan oleh MK beberapa waktu lalu," kata Kurnia.
Ketiga, ia berujar bahwa banyak ketidakjelasan norma dalam UU KPK baru.
Poin yang paling mencolok ada pada Pasal 37 A dan Pasal 37 B UU KPK baru perihal pembentukan Dewan Pengawas dengan segala tugas-tugasnya.
"Salah satu tugas yang hingga saat ini sulit diterima logika hukum adalah memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan," rinci Kurnia.
Sebab, ia menilai jika pun ingin mengacu pada regulasi umum (KUHAP) atau sistem peradilan pidana, satu-satu lembaga yang dibenarkan melakukan hal tersebut hanya pengadilan, bukan malah Dewan pengawas.
Selain itu, pasal tersebut juga sekaligus menciptakan alur yang rumit serta birokratis tatkala KPK ingin melakukan penindakan.
"Benar saja, hal itu sempat diakui oleh Penyidik KPK, Novel Baswedan, saat memberikan kesaksian di persidangan MK," ujar Kurnia.
Keempat, ICW berpandangan bahwa revisi UU KPK sarat akan kepentingan politik.
"Untuk tiba pada kesimpulan itu bukan hal yang sulit, jika dilihat, produk legislasi kontroversi ini dihasilkan secara kilat, praktis hanya 14 hari saja," kata Kurnia.
Selain itu, ia menuturkan, revisi UU KPK juga sedari awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 namun tetap dipaksakan.
Saat paripurna untuk mengesahkan UU KPK di DPR, jumlah kehadiran anggota pun tidak memenuhi kriteria kuorum.
"Sehingga ini menunjukkan adanya intensi politik di balik pembahasan revisi UU KPK," tutur Kurnia.
Makanya, menurut Kurnia, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang bertugas menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum, kehadiran MK juga diharapkan menjadi lembaga penyeimbang sekaligus pengingat tatkala pembentuk UU (Presiden dan DPR) bertindak semena-mena dalam menyusun legislasi.