Jumat, 3 Oktober 2025

Perempuan Tani HKTI Dorong Keterbukaan Data Beras

Anggaran dari Kementerian Pertanian (Kementan) pun naik berkali-kali lipat, bahkan yang tertinggi sepanjang sejarah Republik ini.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Istimewa
Ketua Umum Perempuan Tani HKTI, Dian Novita Susanto 

"Beras tidak hanya komoditas strategis dalam arti pembangunan nasional karena sebagai bahan pangan utama yang harus tersedia dalam jumlah banyak dan sumber pendapatan serta lapangan kerja khususnya di pedesaan.

Namun beras di Indonesia sudah menjadi komoditas politik yang berdimensi kompleks," jelas Dian.

Meskipun kontribusi pertanian di masa pandemic Covid-19 ini tumbuh positif dan berkontribusi pada ekonomi nasional, impor beras yang kemungkinan besar akan dilakukan pada 2021.

Jika Kembali kebelakang, memang pemerintahan Jokowi tercatat melakukan beberapa kali kebijakan impor beras, tahun 2015 mengimpor 861 ribu ton, tahun 2016 meningkat menjadi 1.28 juta ton.

Kemudian tahun 2017 mengimpor 305 ribu ton, dan puncaknya di tahun 2018 2,25 juta ton, tahun 2019 mengimpor 444 ribu ton, turun drastis sekitar 80,3 persen dari tahun sebelumnya. Praktis Indonesia hanya berhenti mengimpor tahun 2020.

Kebijakan impor beras di Indonesia melibatkan sejumlah lembaga atau kementerian terkait, antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Usaha Logistik (Bulog), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Kebijakan impor beras pada masa pemerintahan Joko Widodo diwarnai pro dan kontra antara lembaga-lembaga tersebut.

Masing-masing memiliki perbedaan data yang saling kontra produktif sehingga menjadi polemik berkepanjangan terkait impor beras.

Kebijakan impor beras juga terkadang menimbulkan pro dan kontra antar sejumlah lembaga terkait, mengindikasikan secara kuat bahwa kebijakan impor beras tidak didukung pada analisis data yang akurat melalui kajian akademik.

Sebaliknya, kebijakan impor beras lebih bersifat politik terkait pertarungan kepentingan antar kelompok atau aktor yang terlibat yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bulog, DPR dan BPS.

Asumsi dasar bahwa kebijakan impor beras dinilai sebagai kompetisi aktor untuk memenangkan kepentingannya. Asumsi dasar ini didasarkan pada perbedaan ketersediaan beras yang berbeda antar instansi terkait.

Dalam menganalisis kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah maka poin utama yang menjadi perhatian adalah proses pengambilan kebijakan itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tiap pengambilan kebijakan suatu negara terdapat pertarungan antara kelompok-kelompok kepentingan baik dalam pemerintahan maupun yang bertindak sebagai kelompok penekan.

Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Usaha Logistik (Bulog), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi representasi kepentingan nasional.

Di sisi lain ada asosiasi petani beras yang mewakili kepentingan mereka masing-masing. Dengan demikian, kompleksnya hubungan dan kepentingan tentunya menciptakan pro dan kontra dalam kebijakan impor beras.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved