Benarkah Pembubaran Ormas Langgar Hak Berkumpul? Komnas HAM Beri Penjelasan
Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI, Munafrizal Manan, menyebut hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights.
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI, Munafrizal Manan, menyebut hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights.
Dimana hak tersebut dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan.
Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat sesuai International Covenant on Civil and Political Rights, UUD 1945, maupun UU HAM.
Munafrizal menegaskan, pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul harus diatur oleh hukum.
"Jadi keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,” katanya, dikutip dari laman resmi komnasham.go.id, Kamis (31/12/2020).
Baca juga: Mantan FPI Bikin Organisasi Baru, Legislator PKS: Itu Hak Warga Negara, Dilindungi UUD 1945
Baca juga: Sekjen MUI: Sebaiknya FPI Dibina Bukan Dibubarkan
Baca juga: Setelah FPI Dilarang, Muncul Front Persatuan Islam, Polisi: Bukan Domain Polri
Berdasarkan prinsip due process of law (proses hukum yang semestinya), suatu organisasi yang melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan publik, atau membahayakan keamanan negara dapat dibubarkan melalui proses pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.
Namun di sisi lain, Munafrizal menilai Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang berwatak represif.
Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun cenderung mengebiri kedaulatan rakyat.
UU ini dibentuk bermaksud untuk menerapkan sanksi yang efektif terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana.
“Masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat tidak boleh diamini."
"Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita negara hukum dan negara demokratis."
"Hubungan negara masyarakat, dalam konteks yang ideal demokratis dapat mencapai titik equilibrium (keseimbangan), dimana tidak boleh ada negara yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi."
"Namun tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari negara karena akan melahirkan vandalism dan anarkisme,” tutup Munafrizal.
Pembubaran Ormas Lewat Proses Peradilan
Munafrizal berpendapat pemerintah tidak boleh membubarkan organisasi hanya berdasarkan asas contrarius actus serta tanpa mekanisme proses due process of law.
Menurutnya dalam kacamata HAM, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan.
"Karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,” kata Munafrizal.
Terlebih dimana negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi penikmatan atas hak berkumpul.
Negara juga memiliki kewajiban memastikan semua warganya menikmati hak tersebut.
Baca juga: FPI Tak Akan ke PTUN Soal Larangan Aktivitas: SKB Itu Kotoran Peradaban
Baca juga: GP Ansor Siap Tampung Mantan Anggota FPI
Baca juga: FPI Jadi Front Persatuan Islam dan Tak Mau Daftar ke Pemerintah, Polisi Sebut Bukan Urusan Polri
“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis, kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis,” sambung Munafrizal.
Komnas HAM mendefinisikan hak berserikat dan berkumpul merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan hak sipil dan hak politik.
Hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang diaktualisasikan melalui keleluasaan orang untuk menyampaikan pikiran, ide, aspirasi, dan keyakinan secara kolektif.
Prinsip dasar umum mengenai hak kebebasan berserikat dijabarkan Munafrizal, antara lain:
1. Setiap orang berhak membentuk atau bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi.
2. Tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi.
3. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atas seseorang untuk menikmati hak kebebasan berserikat/berorganisasi/berasosiasi.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)