Mensos Juliari P Batubara Tersangka Suap
Jokowi dan Sesama Menteri Berulang Kali Peringati, KPK Sampai Buat Surat Hati-hati Korupsi Bansos
Sebelum jadi tersangka, Presiden Jokowi, sesama menteri hingga pimpinan KPK sudah berulang kali peringatkan potensi korupsi bansos Covid-19.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pembantu presiden, Edhy Prabowo dan Juliari Batubara tersandung korupsi.
Edhy Prabowo karena suap izin ekspor benih lobster atau benur.
Juliari Batubara kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial (Kemensos).
Keduanya ditetapkan tersangka oleh KPK.
Tidak diberi ampun, mereka langsung dijebloskan ke dalam rutan.

Sebelum akhirnya "gelap mata" korupsi dana bansos Covid-19, sudah banyak yang memberikan peringatan.
Mulai dari Presiden Jokowi hingga sesama menteri.
Bahkan KPK pun sedari awal sudah memberikan warning pada Kemensos.
Peringatan dari Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri di awal penanganan virus corona pernah memberikan peringatan untuk pelaku korupsi anggaran Covid-19.
Orang nomor satu di Indonesia itu sempat meminta aparat penegak hukum bekerja ekstra keras mengantisipasi keinginan jahat segelintir oknum yang ingin memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 guna memperkaya diri sendiri.
Jokowi mengungkapkan hal itu saat menyampaikan sambutan secara virtual pada peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2020, Senin (15/6/2020).

Presiden menyatakan, pemerintah tidak main-main dalam hal akuntabilitas.
Upaya pencegahan terhadap niat jahat harus diutamakan, seiring dengan diwujudkannya tata kelola yang baik dalam penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
"Tetapi kalau ada yang masih membandel, kalau ada niat untuk korupsi, ada mens rea, maka silakan bapak/ibu, digigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus terus kita jaga," kata Jokowi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga Beri Peringatan
Imbauan serupa juga sempat diutarakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengungkapkan harapannya agar tidak ada pihak-pihak uang melakukan korupsi atau konflik kepentingan.
Sebab bila terjadi bisa mengacaukan seluruh persepsi bahwa proses realokasi anggaran dalam APBD dan APBN merupakan kondisi darurat.

"Saya sebagai menteri keuangan mengimbau, meskipun kita darurat dan harus melakukan secara cepat, saya berharap tidak ada korupsi dan tidak ada konflik kepentingan sehingga tidak mengacaukan seluruh persepsi bahwa emergency dan urgensi ini betul-betul kita ingin melakukan percepatan reaksi untuk menolong masyarakat," ujar Sri Mulyani usai menghadiri rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada Maret lalu.
Mahfud MD Pernah Ingatkan Korupsi saat Bencana Dapat Dijatuhi Hukuman Mati
Jauh sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyatakan jika perangkat hukum untuk hukuman mati bagi koruptor sudah ada.
"Koruptor bisa dijatuhi hukuman mati kalau melakukan pengulangan atau melakukan korupsi disaat ada bencana, nah itu sudah ada. Cuma kriteria bencana itu yang sekarang belum diluruskan. Nanti kalau itu mau diterapkan tidak perlu ada undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Menkopolhukam menegaskan jika pemerintah sudah setuju dengan hukuman mati untuk koruptor tapi tetap semua tergantung putusan dari hakim pengadilan.
"Kadangkala hakimnya malah mutus bebas gitu, kadangkala hukumannya ringan. Sudah ringan nanti dipotong lagi, dipotong lagi, ya sudah itu pengadilan di luar urusan pemerintah," kata pria kelahiran Madura ini.

Menurutnya adanya koruptor akan merusak sebuah bangsa.
"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati untuk koruptor karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa dirusak oleh koruptor itu. Sehingga kalau koruptornya serius dengan jumlah besar saya setuju hukuman mati," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Selasa (10/12/2019).
Ia mengatakan jika ancaman hukuman mati untuk koruptor sudah ada di undang-undang.
Dalam undang-undang dijelaskan jika koruptor dapat dihukum mati jika melakukan pengulangan korupsi dan melakukan korupsi saat ada bencana.
Diketahui, pada April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi), menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam.
Penetapan ini dilakukan lewat penerbitan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Sejak Awal Pandemi, KPK Sudah Ingatkan Kemensos
Sejak awal pandemi Covid-19, KPK sudah mengingatkan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk berhati-hati terkait pemberian bantuan sosial ( bansos) dalam penanganan Covid-19.
Demikian dikatakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Firli Bahuri, dalam konferensi pers, Minggu (6/12/2020) pukul 01.00 WIB.
Firli mengatakan KPK telah menerbitkan dua surat edaran khususnya terkait pengadaan barang dan jasa.
"SE Nomor 8 Tahun 2020 tanggal 2 April 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi," kata Firli.
SE berikutnya tertuang dalam Nomor 11 Tahun 2020 tanggal 21 April 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian bansos ke masyarakat.
Firli menambahkan, KPK juga menerbitkan surat terkait pengelolaan sumbangan dan bantuan masyarakat yang tidak termasuk gratifikasi.
"Surat edaran tersebut menjadi panduan dan rambu-rambu agar tidak terjadi tindak pidana korupsi berdasarkan pemetaan KPK atas titik rawan korupsi dalam penanganan pandemi Covid-19," jelasnya.
Bahkan, kata dia, secara langsung tim pada kedeputian pencegahan KPK sudah bekerja bersama gugus tugas tingkat pusat dan daerah untuk memberikan pendampingan dan masukan kepada kementerian/lembaga/pemerintah daerah demi mendorong proses penyelenggaraan bansos dan pengelolaan bantuan, dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Tim juga sudah mendorong agar proses realokasi anggaran, dan pengadaan barang dan jasa dijalankan sebagaimana mestinya yaitu transparan dan akuntabel.
"KPK melalui kajiannya telah memberikan beberapa rekomendasi perbaikan, meliputi aspek kelembagaan, regulasi, hingga tata laksana atas sejumlah program dan kebijakan pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional," ucap Firli.
Firli menambahkan, sebagaimana konsep pemberantasan korupsi, KPK tetap berkomitmen untuk memberantas korupsi.
Ia menegaskan bahwa sampai kapan pun, konsep ini tidak akan pernah bergeser.
Hal tersebut dilakukan dengan cara menindak tegas, melakukan pencegahan korupsi, hingga mendidik masyarakat agar tidak melakukan korupsi.
"Jadi tidak ada yang bergeser. Kita akan tetap melakukan pemberantasan korupsi secara tegas, profesional dan tentu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia," tutur Firli. (tribun network/thf/Tribunnews.com/Kompas.com)