Kasus Djoko Tjandra
Djoko Tjandra Ajukan Saksi Silang dalam Kasus Surat Jalan Palsu
Tim hukum Djoko Tjandra mengajukan saksi silang atau seorang terdakwa bisa bersaksi untuk terdakwa lainnya.
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim hukum Djoko Tjandra mengajukan saksi silang atau seorang terdakwa bisa bersaksi untuk terdakwa lainnya.
Pengajuan saksi silang disebut bisa dilakukan dengan cara memecah atau memisahkan berkas perkara pidana (splitsing).
Bila dibolehkan, sebagai contoh Terdakwa Brigjen Pol Prasetijo Utomo bisa menjadi saksi untuk Terdakwa Djoko Tjandra.
Begitu pula sebaliknya.
"Karena ini perkara splitsing saya kira saksi silang dilakukan, ketika contoh misalnya pak Djoko Tjandra, Pak Prasetijo ini bisa menjadi saksi pak Djoko Tjandra. Begitu juga sebaliknya," kata Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (20/11/2020).
Baca juga: Djoko Tjandra Ajukan Saksi Ahli Pidana untuk Perkara Surat Jalan Palsu
Menjawab usulan tersebut, Hakim Ketua Muhammad Sirat membenarkan bahwa saksi silang memang dapat dilakukan.
Nantinya keterangan terdakwa yang bertindak sebagai saksi bisa dijadikan sebagai tambahan keterangan dalam persidangan.
Tambahan keterangan itu dapat melengkapi keterangan yang sebelumnya telah diberikan dalam bentuk berita acara pemeriksaan, atau
"Memang bisa saksi silang," ucap Hakim Ketua.
Baca juga: Temui Djoko Tjandra di Malaysia, Pinangki Bayari Tiket Pesawat Andi Irfan dan Anita Kolopaking
"Memang begitu ya, biasanya di sidang. Jadi saksi (dari) terdakwa, nanti pada saat pemeriksaan terdakwa ada saudara-saudara yang ingin disampaikan sebagai terdakwa, adakah hal-hal yang perlu ditambahkan untuk menjadi keterangan terdakwa disamping keterangan yang sudah diberikan," imbuh dia.
Dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Brigjen Prasetijo Utomo membuat surat jalan palsu untuk memberikan akses masuk Djoko Soegiarto Tjandra ke Indonesia.
Sementara Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Dewi Kolopaking didakwa menggunakan surat jalan palsu.
Baca juga: KPK Optimistis Kejagung dan Polri Bakal Kirim Berkas Perkara Djoko Tjandra
Dalam dakwaan jaksa, dijelaskan pemalsuan surat jalan itu berawal ketika Djoko Tjandra berkenalan dengan Anita Kolopaking di kantor Exchange lantai 106, Kuala Lumpur, Malaysia, November 2019 silam.
Perkenalan itu dimaksudkan karena Djoko Tjandra ingin menggunakan jasa Anita Kolopaking sebagai kuasa hukumnya. Djoko Tjandra meminta bantuan Anita untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 tertanggal 11 Juni 2009.
Selanjutnya pada April 2020, Anita mensaftarkan PK perkara Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun dalam pengajuan PK itu, Djoko Tiandra tidak bertindak sebagai pihak Pemohon.
Namun Permohonan PK tersebut ditolak PN Jaksel dengan merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2012. Saat itu Djoko Tjandra tidak ingin diketahui keberadaanya.
Kemudian Djoko Tjandra meminta Anita mengatur kedatangannya ke Jakarta dengan mengenalkan sosok Tommy Sumardi.
Tommy lalu mengenalkan Anita dengan Brigjen Prasetijo Utomo. Prasetijo saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Anita mengutarakan maksud dan tujuannya kepada Prasetijo yakni membantu Djoko Tjandra datang ke Jakarta. Prasetijo menyanggupi dan mengurus keprluan kedatangan Djoko Tjandra dengan membuatkan surat jalan, surat keterangan kesehatan, dan surat-surat lain terkait dengan pemeriksaan virus Covid-19.
Djoko Tjandra direncanakan masuk ke Indonesia lewat Bandara Supadio di Pontianak. Dari sana, dia direncanakan menuju Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta dengan pesawat sewaan.
Atas perbuatannya, Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP, dengan ancaman hukuman lima (5) tahun penjara.
Sedangkan Brigjen Prasetijo disangkakan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1e KUHP, Pasal 426 KUHP, dan/atau Pasal 221 ayat 1 dan 2 KUHP. Ia diancam hukuman maksimal enam (6) tahun penjara.
Sementara Anita Kolopaking dijerat Pasal 263 ayat 2 KUHP terkait penggunaan surat palsu dan Pasal 223 KUHP tentang upaya membantu tahanan kabur.