Tak Puas Terhadap Tuntutan 11 Prajurit TNI, Keluarga Korban Merasa Tak Mendapat Keadilan
"Kelurga Jusni merasa kecewa karena keadilan tidak berpihak pada anaknya sebagai korban penganiayaan oleh oknum TNI."
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarga korban penganiayaan 11 oknum TNI yang berujung kematian di Jakarta Utara pada Februari 2020 lalu merasa kecewa atas tuntutan yang dibacakan oditur militer terhadap para terdakwa dalam sidang di Pengadilan Militer II-08 Jakarta kemarin Selasa (17/11/2020).
Pengacara dari Kantor Hukum FAS & Partners Law Office Maulana selaku kuasa hukum korban, almarhum Jusni, mengatakan orang tua korban merasa kecewa karena merasa tidak memperoleh keadilan atas tuntutan tersebut.
Selain itu, Jusni merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan merupakan tulang punggung keluarga.
Baca juga: Dilantik Jadi Ketua Umum PB Forki, Panglima TNI Fokus Event Nasional dan Internasional Tahun 2021
"Kelurga Jusni merasa kecewa karena keadilan tidak berpihak pada anaknya sebagai korban penganiayaan oleh oknum TNI Yonbekang 4/Air," kata Maulana saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (18/11/2020).
Berdasarkan fakta yang ada, Maulana menilai semestinya para terdakwa dituntut dengan ancaman pidana maksimal dan diberhentikan secara tidak hormat mengingat para terdakwa ialah aparat TNI yang seharusnya menjaga dan melindungi warga negara sesuai sumpah prajurit dan Sapta Marga.
Baca juga: TNI Prioritaskan 9 hingga 10 Ribu Prajurit di Garis Depan Penanganan Covid-19 Terima Vaksin
Selain itu Maulana menilai ada kejanggalan dalam proses penegakan hukum tersebut.
Ia mengungkapkan, berdasarkan pertimbangan yang meringankan dalam tuntutan para terdakwa mendapat rekomendasi keringanan hukuman dari Kapusbekangad Mayjen TNI Isdarmawan Ganemoeljo berdasarkan surat Kapusbekangad R/622.06/12/293/subditpamoster tanggal 30 Juni 2020.
Menurutnya dalam menegakkan keadilan tidak perlu disangkutpautkan dengan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kapusbekangad.
Ia menilai rekomendasi tersebut merupakan intervensi untuk mengaburkan keadilan dan penegakan hukum.
"Para terdakwa mendapatkan rekomendasi keringanan hukuman dari Kapusbekangad sehingga Oditur Militer mengabulkannya, upaya ini menunjukan ada upaya intervensi terhadap proses peradilan dan menimbulkan konflik kepentingan," kata Maulana.
Baca juga: KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri, Satgas Covid-19, dan Panglima TNI Rapat dengan Komisi II DPR
Selain itu Maulana menilai hal tersebut membuktikan bahwa ada upaya perlindungan kepada para terdakwa yang melakukan penyiksaan terhadap Jusni sebagai korban penyiksaan.
"Jika ini di biarkan maka kedepannya kesewenang wenangan aparat akan melakukan penyiksaan terus menerus kepada rakyat sipil jika hakim memutuskan tanpa ada pertimbangan hukum yang adil," kata Maulana.
Maulana mengatakan oditur militer mendakwakan terdakwa dengan pasal 351 ayat 1 tentang penganiayaan Jo ayat 3 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Seharusnya, kata Maulana, pasal yang didakwakan adalah pasal 351 ayat 3 tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian Jo pasal 170 ayat 2 ke 3.
Baca juga: KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri, Satgas Covid-19, dan Panglima TNI Rapat dengan Komisi II DPR