Gerakan 30 September
Warga yang Setuju Sedang Terjadi Kebangkitan PKI Relatif Tidak Banyak dan Tetap dari Waktu ke Waktu
46 persen warga juga percaya bahwa isu kebangkitan PKI dihembuskan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu dan sebetulnya tidak nyata.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei berjudul Sikap Publik Atas Isu Kebangkitan berdasarkan temuan survei nasional yang dislenggarakan pada 23 sampai 26 September 2020.
Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas menyampaikan sejumlah kesimpulan dari survei tersebut secara virtual pada Rabu (30/9/2020).
"Kesimpulannya saya bacakan saja, bahwa warga yang setuju bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI ini relatif tidak terlalu banyak dan tetap dari waktu ke waktu. Hanya 36 persen yang tahu pendapat sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI di tanah air. Dari yang tahu, sekitar 36 persen atau 14 persen dari populasi setuju dengan pendapat tersebut dan 61 persen atau 22 persen dari populasi tidak setuju," kata Sirojudin.
Ia juga menyampaikan temuan survei nasional dari Juni 2016 sampai September 2020 memperlihatkan bahwa warga yang setuju dengan isu sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI tidak banyak berubah yakni hanya berkisar 10 sampai 16 persen.
Sebanyak 46 persen warga juga percaya bahwa isu kebangkitan PKI dihembuskan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu dan sebetulnya tidak nyata.
"Hanya 22 persen yang percaya bahwa kebangkitan PKI itu nyata adanya," kata Sirojudin.
Selanjutnya survei tersebut juga menemukan sebanyak 47 persen warga percaya bahwa hubungan dengan RRC atau dengan Tiongkok tidak ada kaitannya dengan kebangkitan komunis, melainkan untuk kepentingan ekonomi bersama.
"Yang percaya hubungan itu terkait dengan kebangkitan komunisme dan PKI di Indonesia hanya sebanyak 26 persen," lanjut Sirojudin.
Sedangkan analisis demografi survei tersebut, kata Sirojudin, juga menemukan bahwa awareness (kesadaran) tentang isu kebangkitan PKI lebih tinggi di kelompok laki-laki, warga perkotaan, dan tinggal di daerah Sulawesi, Jateng dan DIY, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Sedangkan tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok laki-laki, tinggal di Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera.
"Kemudian awareness tentang isu kebangkitan PKI lebih tinggi pada warga dengan pendidikan tinggi. Sementara tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok berpendidikan rendah," kata Sirojudin.
Selain itu kesadaran tentang isu kebangkitan PKI, kata Sirojudin, lebih tinggi pada kelompok beragama Islam dan beretnis Minang.
Baca: Survei SMRC: 14% Populasi Indonesia Setuju Sekarang Terjadi Kebangkitan PKI
Sementara tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok beragama Islam dan beretnis Betawi dan Minang.
Tingkat kesadaran terhadap isu kebangkitan PKI, kata Sirojudin, relatif lebih tinggi di kelompok pemilih PKS.
Di antara yang aware tersebut, kata Sirojudin, tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok pemilih partai NasDem.
"Awareness dan tingkat kesetujuan terhadap isu kebangkitan PKI di kelompok pemilih Prabowo-Sandi terlihat lebih tinggi dibanding pemilih Jokowi-Maruf Amin," kata Sirojudin.
Sementara dari 14 persen yang setuju dengan isu kebangkitan PKI ada 79 persen atau 11 persen dari total populasi yang menilai kebangkitan PKI saat ini sudah menjadi ancaman.
"Dan dari 11 persen yang menilai sudah menjadi ancaman, kata Sirojudin, mayoritas atau 8 persen dari populasi merasa pemerintah kurang atau tidak tegas sama sekali dengan ancaman kebangkitan PKI tersebut," kata Sirojudin.
Sirojudin mengatakan jumlah responden yang diwawancara dalam survei tersebut ada 1.203 responden.
Sampel dari hasil survei nasional tatap muka itu, kata Sirojudin, divalidasi dengan membandingkan populasi demografi sampel dan populasi hasil sensus BPS sehingga demografi sampel meliput provinsi, gender, desa-kota, umur etnis, dan agama.
Dan jika ada perbedaan signifikan antara demografi sampel dengan populasi sampel yang terpilih secara acak terhadap populasi pemilih nasional yang memiliki telepon, kata Sirojudin, maka dilakukan pembobotan data sedemikian rupa sehingga komposisi demografi sampel menjadi proporsional terhadap populasi.
"Margin of Eror survei diperkirakan antara kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, dengan asumsi simpel random sampling. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 sampai 26 September 2020," kata Sirojudin.
Sirojudin juga menjelaskan pemilihan populasi survei tata muka tersebut.
Populasi pemilih nasional, kata Sirojudin, sudah diacak dalam survei tatap muka.
Populasi survei nasional tersebut diacak untuk dijadikan sampel survei tatap muka.
Sampel tersebut, kata Sirojudin, dipilih secara acak dengan stratified multistage random sampling dari total populasi nasional.
Responden terpilih kemudian, kata Sirojudin, diwawancarai melalui proses wawancara tatap muka.
Lalu dari koleksi sampel tersebut dipilih lagi untuk diwawancara melalui telepon.
"Sama juga prosedurnya, sampelnya kita pilih secara acak dari daftar responden hasil survei tatap muka yang memiliki telepon. Dan responden terpilih selanjutnya diwawancara lewat telepon," kata Sirojudin.
Sirojudin juga menggambarkan keakuratan metode tersebut dengan membandingkannya kepada penhalaman survei menjelang Pilpres 2020.
Berdasarkan pengalaman survei telepon menjelang Pilpres 2019 lalu itu, kata Sirojudin, tingkat akurasinya cukup baik.
Dalam temuan survei telepon 56,9 persen suara memilih Jokowi dan Maruf Amin dan 43,1 untuk Prabowo dan Sandi.
Sedangkan hasil Pilpres menyatakan 55,5 persen suara memilih Jokowi dan Maruf Amin serta 44,5 persen untuk Prabowo dan Sandi.
"Jadi temuan dari survei telepon itu sangat mirip juga akurasinya dengan hasil resmi KPU. Dengan demikian kita meyakini bahwa secara metodologi, survei telepon yang kita lakukan dengan metodologi yang sudah kita jelaskan tadi sudah cukup kuat untuk membaca realitas pemilih Indonesia saat ini," kata Sirojudin.