Sejak 2018 Frekuensi Gempa Bumi Meningkat Lebih dari 11 Ribu Kali
Penyebab dari adanya peningkatan frekuensi gempa bumi di Indonesia bisa saja karena adanya perubahan iklim.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Frekuensi terjadinya gempa bumi di Indonesia meningkat signifikan. Sejak tahun 2016 frekuensi gempa bumi rata-rata hingga 4.000-5.000 kali, lalu meningkat 7.000 kali setahun kemudian.
"Sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11 ribu kali setiap tahunnya," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Senin (20/7/2020).
Dwikorita menjelaskan penyebab dari adanya peningkatan frekuensi gempa bumi di Indonesia bisa saja karena adanya perubahan iklim.
Namun Dwikorita perlu analisis mendalam untuk melihat peningkatan jumlah kejadian gempa bumi. Ia menilai perlu dukungan kelengkapan data dan kerja sama banyak pihak.
BMKG kata Dwikorita telah melaporkan catatan tersebut ke Presiden Joko Widodo dan melakukan minimalisasi risiko dampak gempa bumi dan tsunami yaitu dengan peremajaan alat deteksi tsunami tak layak pakai.
"Sekarang sedang proses revitalisasi dan pengembangan," ujar Dwikorita.
Menurutnya kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga.
Ia menilai BMKG bila memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik, namun juga kejadian non tektonik.
Baca: Pulau Jawa Waspada Bencana Gempa Bumi
Baca: Status Gunung Raung Naik jadi Waspada! Ada 26 Kali Gempa Letusan, Jauhi Radius 2 Km dari Kawah
BMKG bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan beberapa lembaga lain tengah mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi.
"Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust. Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan," ujarnya.
Alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang ini kata Dwikorita dinilainya sudah tidak layak pakai lagi karena sudah melampaui batas kemampuan kerja alat maksimal 10 tahun.
Selain alat yang sudah tua, Dwikorita menyebut kemampuan alat deteksi tsunami ini menurutnya juga tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh BMKG.
"Alat yang ada sekarang ini hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, namun bila terjadi aktivitas vulkanik seperti kejadian longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi," imbuh dia.
Guna mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi, pihaknya tengah bekerja sama dengan BPPT, ITB dan beberapa lembaga lainnya dalam Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust.
"Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan," katanya. (tribun network/kps/wly)