Mahfud MD Telepon Jaksa Agung ST Burhanuddin Perintahkan Segera Tangkap Djoko Tjandra
Mahfud MD, memerintahkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin segera menangkap Djoko Sugiarto Tjandra.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, memerintahkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin segera menangkap Djoko Sugiarto Tjandra, terpidana kasus hak tagih Bank Bali yang telah buron sejak 2009.
Perintah Mahfud ke Burhanuddin itu disampaikannya melalui sambungan telepon.
”Tadi saya tadi sudah bicara dengan Jaksa Agung, supaya segera menangkap buronan Djoko Tjandra,” kata Mahfud MD dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/7/2020).
Keterangan itu disampaikan Mahfud di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, sebelum melakukan kunjungan kerja ke Medan, Sumatera Utara.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan bahwa Djoko merupakan buron yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
Baca: Djoko Tjandra Tak Terdeteksi di Indonesia, Politikus Nasdem Soroti Sistem Imigrasi Disalahkan
Atas dasar itu, Polri dan Kejaksaan Agung harus segera menangkapnya, meski Djoko diketahui sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) perkaranya.
”Tidak ada alasan bagi orang yang DPO, meskipun dia mau minta PK, lalu dibiarkan berkeliaran,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan berdasarkan Undang-undang, terpidana yang mengajukan PK harus hadir di Pengadilan.
PK tak bisa dilakukan jika terpidana absen saat persidangan berlangsung.
Karena itu dia kembali meminta Polri dan Kejaksaan Agung menangkap Djoko ketika hadir di Pengadilan sebagaimana putusan yang sudah inkrah.
“Itu saja demi kepastian hukum dan perang melawan korupsi,” kata dia.
Baca: Mahfud Perintahkan Jaksa Agung Tangkap Djoko Tjandra: Tidak Ada Alasan DPO Dibiarkan Berkeliaran
Djoko Tjandra sebelumnya diketahui mengajukan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun keberadaannya dia tak terdeteksi oleh pihak Imigrasi ketika pulang ke Indonesia tanggal 8 Juni lalu untuk mengajukan PK tersebut.
Saat rapat dengan Komisi III DPR RI, beberapa hari lalu, Burhanuddin mengaku heran mengapa Djoko bisa melenggang masuk tanpa dicekal. Ia menilai ada persoalan dengan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Namun demikian Burhanuddin juga tak ingin menyalahkan institusi lain.
“Kalau sudah terpidana seharusnya pencekalan terus menerus dan berlaku sampai tertangkap,” kata Burhanuddin beberapa hari lalu.
Baca: Alasan Sakit, Djoko Tjandra Absen Sidang PK, Surat Keterangannya dari Klinik Kuala Lumpur
Menkumham Yasonna H. Laoly mengatakan pihaknya tidak tahu lokasi Djoko karena dalam sistem di Imigrasi tidak ada data perlintasan terpidana kasus cessie Bank Bali.
“Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya. Sampai sekarang tidak ada. Kemenkumham tidak tahu sama sekali di mana. Makanya kemarin kan ada dibilang ditangkap, kita heran juga. Jadi kami sudah cek sistem kami semuanya, tidak ada,” ungkap Yasonna usai rapat dengan Komisi II dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di DPR, Selasa (30/6/2020).
Terkait perintah penangkapan Djoko Tjandra, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono mengaku pihaknya siap bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) menangkap buron kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali itu.
"Kami selalu terbuka dengan instansi terkait apalagi dengan BIN," kata Hari Setiyono, Kamis (2/7).
Hari menyebut Kejagung juga siap bekerja sama dengan lembaga lain dalam mengusut suatu perkara. Apalagi, kata dia, hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
"Karena kejaksaan merupakan salah satu penyelenggara intelijen negara," ujar Hari.
Ganti Nama
Kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang menjerat Djoko Tjandra bermula pada saat bank tersebut kesulitan menagih piutang dengan nilai total Rp3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997.
Tagihan tak kunjung cair meskipun ketiga bank tersebut masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kejaksaan Agung kemudian mengendus kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengalihan hak tagih ini. Sepuluh orang ditetapkan menjadi tersangka, tetapi hanya tiga orang yang dijatuhi hukuman penjara. Mereka adalah Djoko Tjandra (Direktur PT EGP), Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), dan Pande N. Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN).
Djoko ditahan oleh Kejaksaan pada 29 September-8 November 1999.
Kemudian ia berstatus tahanan kota hingga 13 Januari 2000. Pada Agustus tahun 2000, DjokoTjandra dinyatakan bebas dari segala tuntutan karena kasus Bank Bali bukan pidana, melainkan perdata.
Baca: Mahfud Perintahkan Jaksa Agung Tangkap Djoko Tjandra: Tidak Ada Alasan DPO Dibiarkan Berkeliaran
Kejaksaan Agung lalu mengajukan kasasi.
Kasasi ditolak pada 2001. Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan. Kemudian pada 2008, Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan, pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Djoko dilakukan atas permintaan KPK.
Permintaan itu berlaku mulai 24 April 2008 hingga 6 bulan ke depan.
Kemudian, red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Pada pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra. Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa 'red notice' atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.
Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
"Di samping kronologi di atas, perlu disampaikan juga bahwa atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan," ujar Arvin.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia ( MAKI) Boyamin Saiman menduga, tidak terdeteksinya Djoko S Tjandra di dalam sistem database Ditjen Imigrasi, lantaran dirinya telah berganti nama menjadi Joko S Tjandra.
"Djoko S Tjandra saat ini telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dan mengubah nama Joko Soegiharto Tjandra melalui proses pengadilan negeri di Papua," kata Boyamin.
Djoko Tjandra sendiri diketahui kabur dari Indonesia ke Papua Nugini sejak 2009.
Pada 2012, ia dikabarkan berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini.
"Perubahan nama awal dari Djoko menjadi Joko menjadikan data dalam paspor berbeda sehingga tidak terdeteksi oleh imigrasi. Hal ini pernah dibenarkan oleh Menkumham Yasonna Laoly bahwa tidak ada data pada imigrasi atas masuknya Djoko S Tjandra," ungkap Boyamin.
Ia menambahkan, seharusnya Djoko Tjandra yang kabur ke luar negeri sudah tidak bisa masuk ke Tanah Air. Sebab, masa berlaku paspor hanya 5 tahun.
Sehingga, jika dirinya kabur sejak 2009, maka seharusnya sejak 2015 dia sudah tidak bisa masuk ke Indonesia.
"Atau jika masuk Indonesia mestinya langsung ditangkap petugas imigrasi karena paspornya telah kadaluarsa," kata dia.
Sementara, bila mengacu nama barunya, maka upaya hukum PK yang diajukan Joko di PN Jakarta Selatan seharusnya tidak bisa diterima Mahkamah Agung.
Sebab, identitas Joko berbeda dengan putusan persidangan PK dalam perkara cessie Bank Bali yang telah diputus MA pada 2009 silam.
"Atas dasar sengkarut imigrasi ini, kami akan segera melaporkan kepada Ombusdman RI guna menelusuri maladministrasi atas bobolnya sistem kependudukan dan paspor pada sistem imigrasi yang diperoleh Djoko S Tjandra," ucapnya.(tribun network/git/ilh/dod)