Beda Mudik dan Pulang Kampung, Pakar: Bisa Jadi Argumen Pembelaan agar Jokowi Tak Disalahkan
Pakar sosial dan Politik dari UNS, Dr Drajat Tri Kartono turut menanggapi pernyataan Jokowi soal beda mudik dan pulang kampung.
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Sosial Politik (Sospol) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono MSi ikut berkomentar terkait beda mudik dan pulang kampung yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Drajat, bahasa yang digunakan oleh Jokowi akan tidak mudah untuk dipahami.
Pasalnya, Presiden adalah tokoh politik dan bahasa menjadi satu di antara alat untuk berpolitik.
"Dalam konteks konstelasi bahasa politik, karena beliau Presiden, maka bahasanya tidak semudah itu."
"Karena bahasa bisa digunakan sebagai alat untuk berpolitik," ujar Drajat kepada Tribunnews.com, Kamis (23/4/2020), melalui sambungan telepon.
Drajat juga menerangkan, masyarakat bisa menafsirkan pernyataan Jokowi sebagai argumen pembelaan.

Baca: Pakar Sospol Soroti Pernyataan Jokowi Soal Beda Mudik dan Pulang Kampung: Bisa Jadi Bahasa Politik
Pembelaan itu, lanjut Drajat, bisa saja digunakan agar Presiden tidak disalahkan terkait ratusan ribu warga yang mencuri start untuk mudik.
"Orang bisa menafsirkan itu sebagai argumen pembelaan Jokowi terhadap 'kecolongannya' selama ini."
"Karena sudah banyak orang yang pulang ke desanya."
"Baik karena tekanan ekonomi di masa Covid-19 yang banyak di PHK maupun memanfaatkan kesempatan untuk pulang sebelum benar-benar ditutup jalan tolnya," tuturnya.
Untuk itu, Drajat menilai, bahasa yang dilontarkan Jokowi, bisa saja diartikan sebagai penghalusan politik.
Kendati demikian, Drajat juga menyampaikan bahasa yang digunakan Jokowi juga bisa menjadi sebuah cerminan budaya.
Pasalnya, oleh sebagian orang, bahasa tersebut mudah dipahami karena berkaitan dengan nilai kultur yang sudah turun-temurun.
Mudik digunakan sebagai cerminan budaya yang menjadi tradisi peringatan Hari Raya Idul Fitri atau berlebaran.

Baca: Ditanya Beda Mudik dengan Pulang Kampung, Jawaban Susi Pudjiastuti Kocak
"Sebenarnya pernyataan Presiden Jokowi soal perbedaan mudik dan pulang kampung, itu bisa dipahami oleh orang-orang Jawa."
"Karena mudik konteksnya digunakan oleh orang-orang perantau dari desa yang ingin menjalankan ritual Lebaran di kampung halamannya."
"Misalnya bertandang ke makam atau nyekar dan sungkem kepada orang tua, maka itu dipahami istilahnya memang mudik," ungkap Drajat.
Lebih lanjut, Drajat menerangkan, hal itu berbeda dengan istilah pulang kampung.
Pulang kampung, bisa dilakukan kapan saja dan tidak terikat dengan momen Lebaran.

Baca: Jokowi Sebut Mudik Berbeda dengan Pulang Kampung, Ini Kata Sosiolog
Sebelumnya, istilah mudik dan pulang kampung ramai diperbincangkan masyarakat.
Hal itu terkait dengan pernyataan Jokowi yang menyebut adanya perbedaan istilah mudik dan pulang kampung.
Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi dalam sesi wawancara dengan presenter Najwa Shihab dalam tayangan Mata Najwa di Trans7, Rabu (22/4/2020) malam.
Setelah melakukan sesi wawancara tersebut, Jokowi mengadakan rapat terbatas dengan para jajarannya untuk membahas pelarangan mudik.
Menurut Jokowi, keputusan tersebut diambil sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona ke berbagai daerah di Indonesia.
Presiden juga meminta para jajarannya untuk menyiapkan kebijakan larangan mudik tersebut.

Hal itu disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas yang disiarkan di Kompas TV, Selasa (21/4/2020).
"Mudik semuanya akan kita larang, oleh sebab itu persiapan-persiapan yang berkaitan dengan ini harus mulai disiapkan," ujar Jokowi.
Keputusan itu didasari oleh data lapangan dan survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan.
"Hasil kajian di lapangan, dari survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan, disampaikan, yang tidak mudik 68 persen, yang bersikeras mudik 24 persen, yang sudah mudik 7 persen."
"Artinya masih ada angka yang sangat besar yaitu 24 persen tadi," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)