Firli Bahuri: Proses Seleksi 6 Jabatan Struktural Sesuai Pedoman SDM KPK
Firli Bahuri menegaskan proses seleksi enam jabatan struktural, termasuk Deputi Penindakan telah sesuai dengan aturan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan proses seleksi enam jabatan struktural, termasuk Deputi Penindakan telah sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Selain proses tahapan-tahapan seleksi seperti tes kompetensi dan lainnya, KPK juga melakukan penelusuran rekam jejak para calon dengan melibatkan lembaga lain.
"Jadi semuanya sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Sumber Daya Manusia KPK," kata Firli saat dihubungi, Senin (30/3/2020).
Baca: Lockdown Akibat Corona, Malaysia Beri Internet Gratis dan Subsidi Tagihan Listrik Untuk Warganya
Baca: Sidak Dishub DKI ke Terminal Ditunda, Pemprov Belum Dapat Izin Larang Bus AKAP Beroperasi dari Pusat
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta KPK transparan menyampaikan informasi mengenai proses seleksi enam jabatan struktural, terutama Deputi Penindakan.
Hal ini lantaran ICW menilai proses seleksi enam jabatan struktural KPK, termasuk Deputi Penindakan yang bergulir sejak Maret lalu terkesan berjalan diam-diam.
"Kami meminta KPK membuka informasi mengenai proses tahapan dan nama-nama calon yang mengikuti seleksi Deputi Penindakan," kata Peneliti ICW Wana Alamsyah, Senin (30/3/2020).
Wana mengatakan, hingga saat ini, hampir tidak ada informasi yang cukup detail dan transparan yang disampaikan KPK kepada publik, baik mulai dari tahapan seleksi hingga nama-nama calon pejabat struktural KPK yang sudah mendaftar.
Publik hanya mengetahui dari peserta yang mendaftar sebagai calon Deputi Penindakan KPK, yakni tujuh diantaranya berasal dari kepolisian dan empat berasal dari kejaksaan.
Padahal, sebagai lembaga yang menjadi pionir menerapkan prinsip transparansi dan tata kelola badan publik yang akuntabel, KPK sudah sepatutnya menjelaskan secara gamblang proses seleksi pejabat publik.
"Pimpinan KPK periode gagal memberi contoh kepada badan publik lainnya dalam upaya memberikan akses informasi publik. Padahal salah satu strategi mencegah kecurangan terjadi adalah dengan membuka informasi kepada masyarakat sebagai upaya check and balances," kata Wana.
ICW mengingatkan, dalam menjalankan tugas dan kewenangan, KPK berasaskan pada keterbukaan dan akuntabilitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU KPK.
Dalam peraturan perundangan yang lain, yaitu UU 14/2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, tidak ada alasan pengecualian pada pasal 17 yang mendasari proses seleksi Deputi Penindakan tersebut merupakan informasi yang dikecualikan atau tertutup.
"Sehingga proses seleksi yang demikian tidak saja menyalahi asas dketerbukaan dan akuntabilitas dalam UU KPK, tetapi juga mengabaikan prinsip keterbukaan dalam UU KIP," ujar Wana.
Dengan proses seleksi yang terkesan tertutup ini, ICW khawatir akan semakin menambah kecurigaan adanya agenda terselubung untuk menempatkan pejabat tertentu di KPK yang sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, baik itu karena faktor jejaring individu, jaringan kelompok politik maupun arahan dari pihak tertentu yang tengah berkuasa.