Sama-sama di Jawa Timur, Kasus Pedofilia di Sekolah ada Kaitannya dengan Gay Tulungagung?
Siber Bareskrim Polri menangkap seorang penjaga sekolah sekaligus pelatih pramuka di wilayah Tuban, Jawa Timur.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siber Bareskrim Polri menangkap seorang penjaga sekolah sekaligus pelatih pramuka di wilayah Tuban, Jawa Timur.
Tersangka inisial PS ini mengaku telah mencabuli tujuh siswa yang masih dibawah umur (pedofil).
Selain mencabuli, dia juga merekam aksinya dan menyebarkan ke media sosial.
Lantas apakah tersangka PS ini ada kaitannya dengan tersangka M Hasan (43) predator seksual yang mencabuli belasan remaja pria di Tulungagung, Jawa Timur?
Terlebih Hasan merupakan Ketua Organisasi Ikatan Gay Tulungagung (IGATA). Setidaknya, sudah ada lima predator seksual yang ditangkap di wilayah hukum Polres Tuluagung.
Baca: Dikenal Dermawan, Gemar Santuni Anak Yatim, Ashraf Sinclair Belum Sempat Wujudkan Keinginannya Ini
Baca: Siswa SMP 1 Turi Hanyut di Sungai, Pembina Pramuka Perlu Pahami Manajemen Risiko sebelum Berkegiatan
Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Reinhard Hutagaol mengatakan meski sama-sama beraksi di wilayah Jawa Timur namun kedua tersangka, PS dan Hasan tidak saling kenal.
"Walau sama-sama di Jawa Timur, tapi mereka tidak kenal, bukan satu kelompok. Yang kami tangkap (PS) itu kan menggunakan media sosial," tutur Reinhard saat dihubungi Sabtu (22/2/2020).
Meski begitu, menurut Reinhard pihaknya masih akan menelusuri apakah kelompok pedofilia di twitter Hasan orang-orangnya sama dengan Organisasi Ikatan Gay Tulungagung (IGATA).
"Kami tetap akan telusuri, orang-orang di media sosial tersangka PS ada hubungannya dengan Tulungagung atau tidak. Ini butuh waktu karena harus penelusuran," imbuhnya.
Sebar Video
Subdit Siber Bareskrim Polri terus mengembangkan kasus jaringan komunitas pedofilia di media sosial yang melibatkan satu tersangka yakni PS (44) seorang penjaga sekolah sekaligus pelatih pramuka di Jawa Timur.
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan selama 8 tahun menjalani aksinya, pelaku selalu merekam aktivitas tersebut di ponsel untuk selanjutnya disebar ke twitter komunitas pedofilia.
Baca: Ustaz Ungkap Satu Keinginan Ashraf Sinclair yang Belum Sempat Terwujud : Firasat Sebagai Sahabat
Baca: Harimau Muncul Lagi di Dekat Permukiman Warga di Subulussalam
Baca: Ardy Susanto: Penderitaan Wuhan adalah Musibah Kemanusiaan Global
"Pelaku biasa melakukan aksinya di ruang Unit Kesehatan Siswa (UKS) dan rumah dinas pelaku ketika sepi. Lalu dia merekam aksinya di ponsel, diposting di Twitter yang anggotanya adalah orang-orang menyimpang," tutur Argo, Sabtu (22/2/2020).
Diungkap Argo, pelaku merasa bangga bisa mengunggah video itu ke grup yang berisi sesama pedofil untuk bertukar koleksi.
Tidak tanggung-tanggung, grup tersebut berisi 350 anggota. Kini penyidik tengah tengah menelusuri identitas di grup itu agar tidak ada lagi kejadian serupa.
"Anggota di grup itu kami tracking satu-satu. Ini butuh waktu dan banyak yang pakai identitas palsu," tambah jenderal bintang satu itu.
Atas perbuatannya, kini tersangka PS ditahan di Rutan Bareskrim dan dijerat dengan pasal 82 ayat 1 jo Pasal 76E dan Pasal 88 Jo pasal 761 UU RI No 35 tahun 2014 tentang perubahan UU RI no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan atau Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat 1 Jo Pasal 37 UU no 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 45 IiTE dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 6 miliar.
Sikap KPAI
Menyikapi ini anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah meminta Kemendikbud untuk memperketat seleksi para tenaga pendidik hingga petugas di sekolah.
"Kami minta ada pengetatan untuk perekrutan guru dan pekerja di sekolah, karena pelaku pedofilia ini bisa siapa saja. Terutama mereka yang punya riwayat sosial menyimpang ini harus diperhatikan melalui assesment," tutur Margaret saat dihubungi Sabtu (22/2/2020).
Melihat aksi tersangka PS yang ditangkap Bareskrim dimana pelaku biasa beraksi di ruang UKS maupun di rumahnya, Margaret mengingatkan setiap sekolah harus memasang CCTV.
Dia tidak menampik semua ruangan di sekolah baik itu laboratorium, ruang ganti pakaian dan perpustakaan berpotensi menjadi tempat kekerasan seksual.
"Kami dorong sekolah pasang CCTV sebagai kontrol dan menghindarkan kekerasan di sekolah. Apalagi selama 2019, KPAI mencatat ada 321 laporan masuk ke KPAI terkait kekerasan di sekolah," tambahnya.