Pilkada Serentak 2020
Melalui Putusan MK, Diharapkan Pilkada 2020 Bisa Hadirkan Calon Bersih dan Antikorupsi
MK akan memutuskan pengujian UU yang dilakukan ICW dan Perludem atas Pasal UU Pilkada soal pencalonan para mantan napi di Pilkada.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yakin Mahkamah Konstitusi akan kabulkan permohonan mereka atas pengujian Pasal UU Pilkada soal pencalonan para mantan napi di Pilkada (vide Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 8 Tahun 2015).
Untuk diketahui Rabu (11/12/2019) besok, MK akan memutuskan pengujian UU yang dilakukan ICW dan Perludem atas Pasal UU Pilkada soal pencalonan para mantan napi di Pilkada.
"Semoga Putusan MK atas Uji Materi Pasal Pencalonan Mantan Napi di Pilkada bisa jadi kado istimewa dalam suasana peringatan hari antikorupsi internasional (9 Desember 2019) dan Hak Asasi Manusia internasional (10 Desember 2019)," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
Baca: KPU Bolehkan Koruptor Maju Pilkada 2020, Mahfud MD: Putusan MK Begitu
Melalui putusan MK itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini berharap, Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi.
Sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.
"Kami berharap Putusan MK menjadi wujud nyata penghormatan kita pada hak pemilih untuk mendapatkan calon kepala daerah berintegritas bagi daerahnya," ucapnya.
Selain itu, Perludem juga berharap ada langkah ekstra yang dilakukan KPU dalam melakukan pengaturan teknis dalam pelaksanaan pilkada sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.
Baca: Perludem: Kemunduran Demokrasi Dimulai Saat Genit Utak Atik Masa Jabatan Presiden
Termasuk pula pengaturan teknis yang kongkrit untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum.
Perludem mengusulkan, pertama, meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggatian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.
Sebab, dengan ditangkap oleh KPK maka si calon tidak bisa melakukan kewajibannya dalam berkampanye sebagai bagian dari kerja pendidikan politik yang harus dilakukan calon.
Dengan demikian, calon yang kena OTT KPK itu tidak bisa lagi melakukan proses pencalonan secara permanen.
Baca: 3 Pimpinan KPK Cs Minta Hakim Konstitusi Tunda Pemberlakuan Undang-Undang Baru KPK
Usulan ini berkaca dari pengalaman Pilkada 2018 dimana ada sembilan calon kepala daerah dan wakil kepala daerahberstatus petahana yang kena OTT KPK (Sultra, Maluku Utara, Lampung Tengah, Subang, Tulungagung, Jombang, Ngada, Malang).
"Sangat disayangkan mereka tidak bisa diganti akibat PKPU yang tidak memungkinkan itu, dan akhirnya dua orang yang sedang ditahan KPK malah terpilih memenangi pilkada. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus (Pilgub Maluku Utara) dan Syahri Mulyo (Pilbub Tulungagung, Jawa Timur)," jelasnya.
Kedua, terobosan pengaturan teknis dalam Peraturan KPU tentang Kampanye. Pun Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS, untuk menerjemahkan lebih spesifik, kongkrit, dan menjangkau secara luas atas klausul "jujur dan terbuka" mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi bagi para mantan napi yang dicalonkan di pilkada.
Pengaturan di PKPU Kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi (dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama, dan kapan bebas murni).
Pencantuman ini dilakukan dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada.
Selain itu di dalam ketentuan Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara diTPS juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napi (dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama, dan kapan bebas murni) di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil (daftar riwayat hidup) calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Selama ini di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di Pilkada, namun KPU belum pernah mengatur soal pengumuman di TPS ini baik di pemilu legislatif maupun pilkada," jelasnya.
Sebelumnya, dalam Perkara Permohonan No. 56/PUU-XVII/2019, ICW dan Perludem meminta agar MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati ditinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Sehingga, dengan demikian bila dikabulkan maka Pasal a quo selengkapnya menjadi berbunyi,
“Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati ditinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."(*)