dr Zulkifli Cerita Alasan Gugat Amandemen UUD 1945 ke ke PN Jakarta Pusat
Zulkifli S Ekomei telah mengajukan gugatan atas berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Zulkifli S Ekomei telah mengajukan gugatan atas berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Zulkifli pun mengungkap alasan dibalik dirinya menggugat semua pihak yang dinilainya menggunakan UUD tersebut, mulai dari Presiden, DPR, hingga pimpinan parpol.
Menurutnya, 80 persen isi dari UUD 1945 hasil amandemen tak lagi sesuai dengan apa yang diberikan oleh pendiri Republik Indonesia (RI).
"(Latar belakangnya) Kan saya menemukan bukti-bukti sejak proses amandemen tahun 1999 sampai 2002. Itu banyak proses yang nggak benar, kemudian isinya juga sudah berubah. 80 persen tidak sesuai lagi dengan apa yang dulu diberikan oleh para pendiri RI," ujar Zulkifli, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (31/10/2019).
Ia juga merasakan dampak langsung dari berlakunya UUD yang disebutnya palsu itu. Yakni Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 lalu.
Pilpres langsung itu, kata dia, justru menimbulkan perpecahan di antara bangsa ini. Padahal, saat UUD 1945 hasil amandemen belum berlaku, Pilpres secara langsung itu tidak ada.
"Terus dampak dari UUD palsu itu yang paling terasa adalah Pilpres langsung kemarin gitu lho. Terjadi perpecahan di bangsa ini kan. Kan dulu nggak ada Pilpres langsung, kan hasil amandemen," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan soal Perbuatan Melawan Hukum itu diajukan agar UUD 1945 sebelum amandemen kembali diberlakukan.
Gugatan itu teregister dengan nomor perkara: 592/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst tanggal 27 September 2019.
Adapun penggugat adalah Warga Negara Indonesia (WNI), Zulkifli S Ekomei, dengan tergugat yakni mulai dari legislatif hingga Presiden.
"(penggugat,-red) menggugat MPR, DPR, presiden, pimpinan partai, panglima TNI hingga Kapolri dalam perkara pembatalan amandemen UUD 1945 versi MPR yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002," kata Lalu Piringadi, kuasa hukum dari penggugat, saat dihubungi, Senin (30/9/2019).
Dia menjelaskan, gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini adalah gugatan untuk menuntut diberlakukannya UUD 1945 sebelum amandemen.
Menurut dia, adanya amandemen terhadap UUD 1945 itu telah mengubah sistem ketatanegaraan dan sistem hidup bernegara serta bangsa Indonesia menjadi tidak jelas dan tanpa arah yang pasti
Selain itu, kata dia, Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh tergugat juga telah merugikan kepentingan umum, bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Baca: Akademisi Nilai Langkah Paling Tepat Revisi UU KPK Melalui Judicial Review
"Akibat Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh tergugat telah menyebabkan kerugian immaterial bagi penggugat yang diperhitungkan setidaknya Rp 1 Miliar karena ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan hidup dan masa depan penggugat, anak keturunan baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun hukum sebagai Warga Negara Indonesia dalam situasi hidup bernegara tanpa arah yang jelas karan dihapuskannya GBHN sebagai patokan arah berbangsa, dan sistem bernegara yang menyimpang dari tujuan semula yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang asli yaitu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera," kata dia.
Adanya gugatan itu, kata dia, berimplikasi pada Penundaan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum itu.
"Secara hukum akan membawa konsekuensi, pertama penundaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan, atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum," kata dia.
Selain itu, kata dia, apabila MPR RI menyetujui gugatan tersebut untuk kembali menggunakan UUD 45 sebelum amandem, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka proses pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan MPR.
Juga penyusunan dan penetapan GBHN dan pengisian utusan golongan di MPR.
"Bisa saja MPR memilih dan menetapkan (kembali,-red) pasangan Jokowi - Maruf Amin sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024," kata dia.
Terakhir, dia menambahkan, di gugatan itu, KPK diusulkan menjadi bagian dari MPR. Upaya itu dilakukan untuk penguatan kelembagaan komisi anti rasuah itu. Sehingga, lembaga itu tidak dapat diintervensi, sekalipun oleh presiden.
Selain itu secara psikologis dan praktik ketatanegaraan, posisi KPK yang menjadi bagian MPR akan memberi legitimasi yang kuat bagi KPK untuk memeriksa lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif.
"Intinya, menempatkan KPK sebagai bagian dari lembaga tertinggi negara, yaitu dengan sebuah Ketetapan /Tap MPR, maka KPK tidak bisa lagi diintervensi. Tentu secara teknis perlu dibicarakan secara detail terkait proses ini. Namun ini merupakan sebuah inisiatif yang perlu dipertimbangkan untuk kebaikan republik ini," tambahnya.
Untuk diketahui, pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 merupakan Perubahan Pertama UUD 1945. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 merupakan Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 merupakan Perubahan Ketiga UUD 1945. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 merupakan Perubahan Keempat UUD 1945.