Sabtu, 4 Oktober 2025

Kontroversi Rancangan KUHP yang Segera Disahkan: Menghina Presiden hingga Soal Gelandangan

Indonesia segera memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri, setelah selama ini menggunakan hukum "warisan" Belanda.

net
Ilustrasi palu hakim 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia segera memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri, setelah selama ini menggunakan hukum "warisan" Belanda.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan sudah sepakat rancangan KUHP disahkan dalam Sidang Paripurna pekan depan.

Namun hal ini bukannya tidak menyisakan persoalan. Sejumlah kalangan menilai ada sejumlah pasal yang kontroversial dalam Rancanangan KUHP.

Misalnya saja ada pasal yang mengatur tentang hewan ternak seseorang dilarang mencari makan di tanah atau kebun milik orang lain yang ada tanamannya. Jika dilanggar bisa dikenakan denda paling banyak Rp 10 juta.

Baca: Sinyal Kuat Anak & Menantu Jokowi Ikut Pilkada 2020, Tanya Mekanisme Pencalonan Dapat Restu Presiden

Baca: 19 Tahun Dirahasiakan, Gebby Vesta Bongkar Fakta Sesungguhnya Soal Jenis Kelamin

Baca: Prediksi Hasil China Open 2019, Rekor Head to Head Ahsan/Hendra dan Marcus/Kevin Tercatat Unggul

Aturan ini tertulis dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RUU KUHP.

"Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 10 juta)," demikian Pasal 278.

Gelandangan bakal didenda

Hal lain yang memantik kontroversi adalah soal orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan atau dikenal istilah gelandangan. Mereka nantinya diancam denda Rp 1 juta.

Bagian kedelapan tentang Penggelandangan memuat aturan tersebut.

Pasal 432 disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana.

Baca: Kronologi Lengkap Kecelakaan Maut Ambulans Pengantar Jenazah Vs Truk, 5 Orang Tewas, Ini Kata Saksi

Baca: PKS Serukan Mobilisasi Bantuan dan Salat Istisqa Nasional

Baca: 19 Tahun Dirahasiakan, Gebby Vesta Bongkar Fakta Sesungguhnya Soal Jenis Kelamin

Yakni dengan pidana denda paling banyak kategori I. Adapun dalam pasal 49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1 juta.

Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah diatur dalam KUHP sebelum revisi, tetapi dengan ancaman pidana yang berbeda.

Pasal 505 Ayat (1) menyertakan, barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Kontroversi hukuman koruptor

Hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RKUHP lebih ringan menjadi hanya dua tahun. Padahal dalam KUHP lama, hukuman pidana bagi koruptor paling sedikit empat tahun penjara.

Selain itu, pasal tipikor dalam RKUHP tidak menerapkan adanya pidana tambahan berupa uang pengganti. Ada beberapa pasal yang mengatur masalah tipikor dalam RKUHP, yakni pasal 604, 605, dan 607.

Penodaan agama

Dalam Pasal 304 RUU KUHP menyebutkan, setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

Kebebasan pers

Setidaknya ada sejumlah poin dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi den kebebasan pers. Di antaranya Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 241 soal penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 terkait hasutan melawan penguasa, pasal 262 yang mengatur penyiaran berita bohong, dan pasal 263 terkait berita tidak pasti.

Petisi untuk Jokowi

Petisi agar Presiden Joko Widodo menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada rapat paripurna DPR RI terus mendapat dukungan.

Hingga Kamis, 19 September 2019 pukul 16.33 WIB, petisi yang diunggah di change.org dengan judul "Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR" telah ditandatangani lebih dari 300 ribu orang.

Petisi tersebut dibuat oleh aktivis gender dan HAM, Tunggal Pawestri.

Tunggal Pawestri menyoroti 11 poin dalam RKUHP yang dinilai "ngaco" yang menganggap 11 orang-orang dalam pasal draf RKUHP adalah kriminal.

Baca: Komnas HAM Nilai Ada Kesalahan Paradigma Pelanggaran HAM Berat dalam Buku Kedua RKUHP

Baca: Aksi Geruduk Gedung DPR Tolak RKUHP, Bentangkan Poster #HapusPasalNgawur

change.org
change.org 

Berikut isi petisi yang menilai 11 orang berpotensi menjadi kriminal berdasar draf yang disetujui DPR 15 September 2019:

1. Korban perkosaan → bakal dipenjara 4 tahun kalau mau gugurin janin hasil perkosaan (Pasal 470 (1))

2. Perempuan yang kerja dan harus pulang malam, terlunta-lunta di jalanan (Pasal 432) → kena denda Rp 1 juta

3. Perempuan cari room-mate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya (Pasal 419) → bisa dilaporin Pak Kepala Desa biar dipenjara 6 bulan

4. Pengamen (Pasal 432) → kena denda Rp 1 juta

5. Tukang parkir (Pasal 432) → kena denda Rp 1 juta

6. Gelandangan (Pasal 432) → kena denda Rp 1 juta

7. Disabilitas mental yang ditelantarkan (Pasal 432) → kena denda Rp 1 juta

8. Jurnalis atau netizen (Pasal 218) → bakal dipenjara 3,5 tahun kalau mengkritik presiden

9. Orang tua ga boleh tunjukkin alat kontrasepsi ke anaknya karena bukan "petugas berwenang" dan akan didenda Rp. 1 juta (Pasal 414, 416)

10. Anak yang diadukan berzina oleh orang tuanya → dipenjara 1 tahun (Pasal 417)

11. Yang paling parah kita bisa dipidana suka-suka dalam bentuk "kewajiban adat" kalau dianggap melanggar "hukum yang hidup di masyarakat" (Pasal 2 jo Pasal 598)

Selain itu, petisi ini juga menyoroti hukuman para koruptor yang dibuat lebih ringan.

"Di revisi KUHP hukuman untuk perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum buat koruptor dari tadinya hukumannya penjara 4 tahun menjadi lebih ringan, yaitu penjara 2 tahun! (Pasal 604)," bunyi petisi dalam change.org.

Baca: Indonesia Dianggap Tinggal Kenangan jika RKUHP Adopsi Hukum Adat

Dilansir Kompas.com, DPR dan pemerintah telah merampungkan seluruh substansi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Anggota Tim Panitia Kerja (Panja) DPR Arsul Sani mengatakan, setelah disepakati pihaknya tinggal merumuskan redaksional pasal-pasal tertentu.

Setelah itu pembahasan akan dilanjutkan ke tingkat I yakni Rapat Pleno Komisi III.

"Kami sudah selesaikan pembahasannya, tinggal perumusan redaksional pasal-pasal tertentu dan ya kemudian akan kita bawa ke pembicaraan tingkat I Rapat Pleno komisi III," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

Sementara itu, DPR menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna pada akhir September mendatang.

Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).

Di rapat tersebut, presiden bisa menolak atau memberikan persetujuan pada RKUHP tersebut.

Isi lengkap petisi "Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR." bisa dilihat di sini.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Kompas.com, Kristian Erdianto)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved