RUU KUHP
Komnas Perempuan Sambut Baik Permintaan Jokowi Tunda Pengesahan RUU KUHP
Komnas Perempuan menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta pengesahan RUU KUHP ditunda.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta pengesahan RUU KUHP ditunda.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan pemerintah dan DPR akan kembali mempelajari pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHP bila pengesahannya ditunda.
Selain itu, ia berharap Presiden dan DPR membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan lembaga HAM untuk membicarakan pasal yang masih dinilai bermasalah.
Baca: Pedagang Mulai Jual Motor dan Gadaikan Surat Tanah Gara-Gara Gunung Tangkuban Parahu Ditutup
Baca: Telur Ayam yang Dilempar Massa PMII Mengotori Kaca di Gedung KPK
Baca: Peringatan Dini BMKG Gelombang Tinggi Perairan Indonesia Capai 4 M, Berlaku Sabtu, 21 September
"Kami mengapresiasi sikap presiden menunda pengesahan RKUHP. Ini menunjukkan Presiden sensitif dengan kekhawatiran masyarakat akan bahaya over kriminalisasi kelompok rentan dan pengebirian demokrasi jika RKUHP dengan rumusan yang ada sekarang disahkan," kata Azriana saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (20/9/2019).
Over kriminalisasi
Komnas Perempuan membeberkan enam pasal dalam RKUHP yang jika diimplementasikan akan menimbulkan over kriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan sebagainya.
Pertama, pasal 2 ayat (1) dan (2) tentang Hukum yang Hidup di Masyarakat.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menilai masalah dalam pasal tersebut ada pada tidak adanya batasan yang jelas tentang hukum yang hidup dalam masyarakat di tengah beragamnya hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan di masyarakat.
Menurutnya, hal itu mengakibatkan hilangnya jaminan kepastian hukum sebagai prinsip utama hukum pidana, dan melanggar asas legalitas.
Selain itu, rumusan pasal tersebut akan meningkatkan potensi kesewenangan dalam penegakannya, menyuburkan overkriminalisasi bagi kelompok rentan, dan menjadi pembenar diproduksinya kebijakan daerah yang diskriminatif.
"Kehadiran pasal ini juga akan memperburuk praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini yang sudah berlangsung di masyarakat," kata Azriana ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (20/9/2019).
Kedua, pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum.
Baca: Massa Mulai Geruduk Gedung KPK, Kepolisian Perketat Pengamanan
Menurutnya, penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal tersebut berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan.
"Namun hal itu justru merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain," kata Azriana.
Ketiga, pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan.
Menurutnya, rumusan penjelasan pada pasal itu berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana.
"Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud 'relawan dan pejabat yang berwenang' berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV atau AIDS," kata Azriana.
Keempat, pasal 419 tentang Hidup Bersama.
Menurutnya, kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri dalam draft terbaru telah ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.
Padahal menurutnya dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
Sehingga perubahan itu akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.
"Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan," kata Azriana.
Kelima, pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan.
Menurutnya pasal itu akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.
Ia menilai, pasal itu tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.
Karena menurutnya kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu.
Ia menilai dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RKUHP dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.
Selain itu menurutnya, pasal itu juga akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.
"Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," kata Azriana.
Keenam, pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida).
Menurutnya, rumusan pasal itu diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah).
"Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan," jelas Azriana.
Untuk itu ia meminta kepada Presiden dan DPR RI agar pengesahan RKUHP ditunda sampai dilakukan penelitian yang komprehensif.