Selasa, 7 Oktober 2025

Kirim Surpres ke DPR Terkait UU KPK, Jokowi Dinilai Ingkar Janji Pemberantasan Korupsi

Presiden Joko Widodo secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan Revisi UU KPK

Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUN/IQBAL FIRDAUS
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergandengan tangan mengelilingi gedung KPK sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK di lobi gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (6/9/2019). Aksi ini merupakan penolakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dapat melemahkan KPK dalam memberantas korupsi. TRIBUNNEWS.COM/IQBAL FIRDAUS 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masa depan pemberantasan korupsi terancam. Belum selesai dengan proses pemilihan Pimpinan KPK yang menyisakan banyak persoalan, kali ini lembaga antirasuah mesti dihadapkan dengan ancaman legislasi oleh DPR, yakni revisi UU KPK.

Diketahui pada Rabu (11/9/2019) kemarin Presiden Joko Widodo secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan revisi UU KPK bersama DPR.

"Hal yang patut untuk disesalkan adalah sikap dari Presiden Joko Widodo terkait revisi UU KPK. Tentu ini menunjukkan ketidakberpihakan Presiden pada penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Rhamadana kepada wartawa, Kamis (12/9/2019).

Kurnia mengatakan setidaknya ada empat catatan penting dalam menanggapi persoalan ini.

Pertama, Jokowi terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang. Padahal, Pasal 49 ayat (2) UU No 12 tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.

"Harusnya waktu itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahlan KPK," ujarnya.

Kedua, Kurnia menilai, Jokowi abai dalam mendengarkan aspirasi masyarakat. Pasalnya, berbagai elemen masyarakat, organisasi, dan tokoh banyak yang menentang revisi UU KPK. Bahkan lebih dari 100 guru besar dari berbagai universitas menentang pelemahan KPK dari jalur legislasi ini.

Baca: 16 LBH-YLBI Desak Jokowi Hentikan Pembahasan Revisi UU KPK

"Kejadian ini pun seakan mengulang langkah keliru Presiden saat proses pemilihan pimpinan KPK yang lalu. Harus diingat bahwa presiden bukan hanya kepala pemerintahan, namun juga kepala negara yang mesti memastikan lembaga negara seperti KPK tidak dilemahkan oleh pihak-pihak manapun," tegasnya.

Ketiga, lanjut Kurnia, Jokowi ingkar janji tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu anti korupsi. Tegas disebutkan pada poin 4 Nawa Cita dari Jokowi, bahwa menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

"Dengan presiden menyepakati revisi UU KPK usulan dari DPR ini rasanya Nawa Cita Presiden sama sekali tidak terlihat," katanya.

Terakhir, ICW menilai Jokowi mengabaikan prosedur formil dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 telah mensyaratkan bahwa revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Selain itu, dalam tata tertib Pasal 112 (1) jo Pasal 113 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa rancangan undang-undang sebagaimana disisin berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.

"Jika melihat faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas," ujarnya.

Padahal masih jelas di ingatan publik sosok dari Jokowi yang sempat menerima Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2010 lalu. Menurut Kurnia, ekspektasi publik sangat besar pada Jokowi untuk terus menguatkan KPK dan pemberantasan korupsi.

"Dengan kejadian seperti ini rasanya wajar jika akhirnya publik meragukan komitmen anti korupsi dari presiden dan pemerintah," katanya.

Kurnia mengingatkan bahwa Jokowi terpilih menjadi presiden karena janji-janji yang telah diutarakan saat kampanye lalu sehingga masyarakat memilihnya. Jika saat ini Jokowi tidak menepati janji untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi maka barisan pendukung presiden akan semakin berkurang drastis.

"Hal ini akan berimplikasi serius pada kepercayaan publik pada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo," katanya.

Kurnia menegaskan kritik ini bukan tanpa dasar. Sebab keseluruhan pasal dalam revisi UU KPK justru diprediksi akan melucuti kewenangan lembaga antikorupsi itu. Mulai dari pembentukan Dewan Pengawas yang justru menimbulkan sangkaan akan adanya intervensi dari eksekutif dan legislatif pada penindakan KPK.

Kemudian penyadapan yang harus melalui izin dari Dewan Pengawas. Sampai pada kewenangan KPK memberikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang mana sebenarnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Lagi pun harusnya presiden memahami bahwa narasi penguatan KPK yang kerap diutarakan oleh DPR tidak pernah terbukti, dalam catatan ICW sejak digulirkan revisi ini pada tahun 2010 hampir keseluruhan naskah yang beredar selalu diisi oleh pelemahan-pelemahan pada KPK," ujar Kurnia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved