Minggu, 5 Oktober 2025

Kecelakaan Maut di Cipularang

Ini Penjelasannya, Mengapa Laka Maut Sering Terjadi di Sekitar KM 91-92 Tol Purbaleunyi

Total 8 jiwa melayang pada kejadian laka maut di sekitar KM 91-92 Tol Purbaleunyi itu, termasuk Dedi Hidayat, sopir dump truck.

Editor: Choirul Arifin
KOMPAS/MELATI MEWANGI
Polisi memeriksa truk yang terlibat dalam kecelakaan di ruas Jalan Tol Cipularang Km 91, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019), Kecelakaan ini melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan sedikitnya 9 orang tewas. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tragedi yang disebabkan “rem blong” kembali terjadi di depan mata.

Dua dump truck sarat muatan tanah untuk bahan baku pabrik keramik, mengalami rem blong di jalur jalan yang sama dalam interval waktu tak terpaut jauh satu sama lain.

Truk pertama yang dikemudikan Dedi Hidayat (45) kemudian terguling di titik KM 91+100 Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi), Senin (2/9/2019) sekitar pukul 13.00 WIB.

Badan truk yang menutupi badan jalan tol dan tumpahan muatannya, membuat puluhan mobil di belakangnya memperlambat laju sehingga terbentuk antrean panjang.

Selang beberapa menit, truk tanah kedua yang dikemudikan Subana (40), tiba di lokasi antrean kendaraan itu, juga dalam kondisi rem blong.  

“Ada truk kedua yang dikemudikan Subana juga kehilangan kendali dan remnya blong. Truk itu menabrak kendaraan-kendaraan di depannya,” ujar Direktur Penegakan Hukum Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigadir Jenderal (Pol) Pujiyono Dulrachman di lokasi kejadian (Kompas, 3/9/2019).

Faktor Kelalaian

Rekaman video amatir menunjukkan bagaimana truk tersebut datang dengan kecepatan tinggi dan menggasak mobil-mobil di depannya tanpa ampun, sehingga beberapa di antaranya memercikkan api kemudian terbakar.

Total 8 jiwa melayang pada kejadian itu, termasuk Dedi Hidayat. Empat korban di antaranya sulit dikenali identitasnya karena hangus terbakar.

Laka maut Cipularang546
Warga melihat sisa-sisa kendaraan yang hangus terbakar dalam kecelakaan beruntun di ruas Jalan Tol Cipularang Km 91, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019), Kecelakaan ini melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan sedikitnya 8 orang tewas.

Jusri Pulubuhu, instruktur keselamatan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting, teringat beberapa tahun lalu saat ia diajak melakukan investigasi mengapa kecelakaan sering terjadi di kawasan sekitar KM 91-92 di Jalan Tol Purbaleunyi tersebut.

Di kawasan itu jalan tol dari arah Bandung menuju Jakarta berupa turunan panjang dan berbelok.

Jusri Pulubuhu12
Jusri Pulubuhu, instruktur keselamatan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting.

“Yang membuat saya kaget, perilaku pengemudi di sana mengerikan sekali. Banyak mobil yang melaju di atas batas kecepatan yang ditetapkan untuk ruas itu, termasuk mobil-mobil besar seperti truk dan bus. Dari 10 truk yang lewat, tujuh di antaranya melaju hingga kecepatan 100 km per jam,”  papar Jusri kepada Kompas, Senin (2/9/2019) malam.

Sebuah truk jenis dump truck berisi pasir yang terguling menyebabkan kecelakaan beruntun di tol Purbaleunyi atau tol Cipularang Km 91, Senin (2/9/2019).
Sebuah truk jenis dump truck berisi pasir yang terguling menyebabkan kecelakaan beruntun di tol Purbaleunyi atau tol Cipularang Km 91, Senin (2/9/2019). (TRIBUN JABAR/ERRY CHANDRA)

Menurut Jusri, perilaku itu sangat berbahaya mengingat kendaraan-kendaraan besar ini membawa muatan yang sangat berat, sehingga momentumnya menjadi sangat tinggi.

Dalam ilmu fisika, momentum adalah hasil perkalian antara massa benda dan kecepatannya.

Makin besar massa dan kecepatan kendaraan, makin besar momentumnya, yang artinya dibutuhkan gaya yang jauh lebih besar untuk menghentikan lajunya.

“Dalam kondisi itu, momentumnya besar sekali dan kendaraan akan sulit dikendalikan. Apalagi kondisi jalannya tidak ideal, yakni turunan panjang dan berbelok,” ujarnya.

Kebiasaan matikan mesin

Lebih membahayakan lagi, Jusri mencatat perilaku berbahaya lain yang sering dilakukan pengemudi angkutan umum, yakni mematikan mesin saat berada di turunan.

Hal itu biasanya dilakukan dengan alasan untuk menghemat bahan bakar.

Salah satu truk yang terlibat dalam kecelakaan di KM 91 Tol Cipularang, Senin (2/9/2019)
Salah satu dump truck yang terlibat dalam kecelakaan di KM 91 Tol Cipularang, Senin (2/9/2019) (Tribun Jabar/Mega Nugraha)

“Sehingga tidak ada pengereman mesin atau engine brake, jadi hanya mengandalkan rem biasa. Dalam kondisi ini, rem akan alami depresiasi karena panas sehingga terjadi brake fading, alias rem blong,” tutur instruktur senior safety driving ini.

Makin besar massa dan kecepatan kendaraan, makin besar momentumnya, yang artinya dibutuhkan gaya yang jauh lebih besar untuk menghentikan lajunya.

Semua itu dilandasi pola pikir salah kaprah yang masih ada di kalangan pengendara, bahwa rem adalah alat penghenti laju kendaraan.

Kapan pun kendaraan perlu dihentikan, tinggal injak rem habis perkara. Padahal ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh pengendara terkait proses pengereman.

Kompas pernah mengulas tentang arti pentingnya sistem pengereman pada mobil ini di edisi Minggu, 27 Agustus 2006.

Sejumlah petugas membersihkan permukaan jalan dan mengevakuasi bangkai kendaraan bermotor roda empat pascatabrakan beruntun di Tol Cipularang KM 91, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Tabrakan beruntun yang melibatkan 21 kendaraan tersebut mengakibatkan delapan orang meninggal dunia dan sejumlah orang lainnya luka-luka. Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Sejumlah petugas membersihkan permukaan jalan dan mengevakuasi bangkai kendaraan bermotor roda empat pascatabrakan beruntun di Tol Cipularang KM 91, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Tabrakan beruntun yang melibatkan 21 kendaraan tersebut mengakibatkan delapan orang meninggal dunia dan sejumlah orang lainnya luka-luka. Tribun Jabar/Gani Kurniawan (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Mengingat prinsip teknologi sistem rem pada kendaraan bermotor belum berubah terlalu jauh hingga saat ini, ulasan ini terasa masih sangat relevan untuk dipahami.

Berikut ini ulasan tersebut dengan berbagai pengayaan:

Sudah tak terhitung kecelakaan lalu lintas akibat permasalahan pada rem kendaraan bermotor, atau kerap disebut “rem blong”.

Namun, masih banyak pemakai mobil dan sepeda motor yang belum paham bagaimana cara kerja, memakai, dan merawat salah satu sarana paling vital untuk keselamatan penumpang itu.

Korban luka ringan dan berat tabrakan beruntun di Tol Cipularang KM 91 mendapat perawatan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit MH Thamrin, Jalan Raya Bungursari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Tabrakan beruntun yang melibatkan 21 kendaraan tersebut mengakibatkan delapan orang meninggal dunia dan sejumlah orang lainnya luka-luka. Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Korban luka ringan dan berat tabrakan beruntun di Tol Cipularang KM 91 mendapat perawatan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit MH Thamrin, Jalan Raya Bungursari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Tabrakan beruntun yang melibatkan 21 kendaraan tersebut mengakibatkan delapan orang meninggal dunia dan sejumlah orang lainnya luka-luka. Tribun Jabar/Gani Kurniawan (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Peslalom nasional yang juga Direktur Sentul Safety Driving, Didi Hardianto, mengatakan, perawatan rem dimulai dengan menggunakan rem secara benar. Pemakaian rem adalah bagian dari perilaku mengemudi.

“Masih banyak orang yang belum tahu bagaimana cara menggunakan rem dengan benar,” tutur pembalap yang lebih dari 10 tahun menjadi instruktur mengemudi yang aman ini.

Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap rem sebagai alat penghenti laju kendaraan.

Dengan menginjak pedal rem dalam-dalam pada kecepatan apa pun, orang mengira mobil akan segera berhenti dan bisa menghindari tabrakan dengan obyek di depannya.

Dengan menginjak pedal rem dalam-dalam pada kecepatan apa pun, orang mengira mobil akan segera berhenti dan bisa menghindari tabrakan dengan obyek di depannya.

Bahaya mengunci

Dalam keadaan panik karena mobil di depan mendadak berhenti atau ada orang tiba-tiba menyeberang, pengemudi biasanya mengerem mendadak.

Reaksi ini, alih-alih menyelamatkan, justru mengundang risiko bahaya maut karena pengereman mendadak, roda dan ban akan mengunci atau berhenti berputar.

Polisi sedang menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi kejadian kecelakaan beruntun melibatkan 21 kendaraan menewaskan 8 orang, di KM 91+200 Tol Cipularang, Selasa (3/9/2019).
Polisi menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi kejadian kecelakaan beruntun melibatkan 21 kendaraan menewaskan 8 orang, di KM 91+200 Tol Cipularang, Selasa (3/9/2019). (Tribun Jabar/Mega Nugraha)

“Pada saat ban berhenti berputar, jangan diartikan mobil segera berhenti. Yang terjadi justru ban mobil akan slip atau skidding karena momentum gerak mobil. Dalam kondisi seperti itu, mobil tak bisa dikendalikan,” kata Didi.

Jusri Pulubuhu mengamini penjelasan ini, dengan menambahkan, saat mobil direm mendadak, yang berhenti hanyalah putaran roda-roda, tetapi bukan laju mobil.

“Mobilnya masih bergerak dan bahkan tidak lagi bisa dikendalikan karena roda slip,” paparnya.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved