Selasa, 30 September 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pengesahan RUU Pertanahan

Sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak rancangan undang-undang pertanahan yang kini pembahasannya berada di DPR.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Presiden Joko Widodo mencoba alat ukur tanah saat peresmian pemasangan tapal batas kepemilikan tanah di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/3/2019). Pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara menyambut baik pencanangan tanda tapal batas kepemilikan tanah ini dikarenakan bagian dari program nasional yakni sertifikat tanah. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak rancangan undang-undang pertanahan yang kini pembahasannya berada di DPR.

Perwakilan gerakan masyarakat sipil yang terdiri dari gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi dan pakar agraria menyimpulkan bahwa RUU Pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Bahkan RUUP dinilai berwatak kapitalisme neoliberal.

"Dengan pertimbangan tersebut, kami menolak RUU Pertanahan yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, serta mendesak Ketua DPR RI dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan," ujar Nurhidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam siaran pers
Selasa, (13/8/2019).

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) disusun tanpa mempertimbangkan situasi agraria terkini.

Menurut mereka Indonesia saat ini tengah mengalami 5 (lima) pokok krisis agraria, yakni: Ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, emiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

"Oleh karena itu, RUUP seharusnya menjawab 5 krisis pokok agraria di atas yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan," katanya.

Merujuk pada naskah RUUP yang terakhir, koalisi memandang bahwa RUUP gagal menjawab 5 krisis agraria yang terjadi. UU terkait pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan Negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan pasal 33 UUD 1945, Tap MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (PA-PSDA) dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

Terdapat sejumlah persoalan mendasar dalam RUUP saat ini. Pertama yakni RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960.

"Meskipun dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA, akan tetapi substansinya semakin menjuh dan bahkan bertentangan dengan UUPA 1960," katanya.

Selain itu masalah Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN). HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960.

Sementara Hak menguasai dari negara yang telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 telah diterjemahkan RUUP secara menyimpang dan powerful menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL).

Selanjutnya, masalah Hak Guna Usaha (HGU). Dalam RUUP, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan. Masalah lainnya, RUUP mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila melanggar ketentuan luas alas hak.

"RUUP juga tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung," katanya.

Lalu RUUP tersebut kontradiktif dengan agenda dan spirit reforma agraria (RA). Terdapat kontradiksi antara semangat reform di dalam konsideran dan ketentuan umum RUUP dengan isi (batang tubuh) RUUP itu sendiri.

Pertama, RA dalam RUUP dikerdilkan menjadi sekedar program penataan aset dan akses. RUUP tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin RA yang sejati, yakni operasi Negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang secara sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu yang jelas.

Tidak ada prioritas obyek dan subyek RA untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan RA di Indonesia. Kedua, spirit RA di RUUP sangat parsial (hanya sebatas bab RA), namun tidak tercermin di bab-bab lain terkait rumusan-rumusan baru mengenai Hak atas tanah (Hak Pengelolaan, HM, HGU, HGB, Hak Pakai), Pendaftaran Tanah, Pengadaan Tanah dan Bank Tanah, dan Pengadilan Pertanahan.

Baca: Dianggap Bisa Picu Liberalisasi Bisnis Lahan, Sejumlah Masyarakat Tolak RUU Pertanahan

Ditambah lagi, RUUP tidak mengatur bagaimana konflik agraria struktural di semua sektor hendak diselesaikan. RUUP menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang rencana penyelesaiannya melalui mekanisme “win-win solution” atau mediasi, dan pengadilan pertanahan.

Padahal, karakter dan sifat konflik agraria struktural bersifat extraordinary crime, yakni berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa.

Dibutuhkan sesegera mungkin, sebuah terobosan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka RA. Bukan melalui pengadilan pertanahan.

"Belum lagi masalah Pendaftaran Tanah yangdalam RUUP bukan merupakan terjemahan dari pendaftaran tanah yang dicita-citakan UUPA 1960 tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia, dimulai dari pendaftaran desa ke desa sehingga Indonesia memiliki data agraria yang akurat dan lengkap untuk penetapan arah strategi pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat," katanya.

Pendaftaran tanah di dalam RUUP semata-mata untuk percepatan sertifikasi tanah dan diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah adat, dan desa-desa yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan.

Masalah lain, cita-cita administrasi pertanahan yang tunggal (satu pintu, single land administration) akan sulit dicapai, apabila RUUP tidak diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu masalah selanjutnya yakni pengingkaran terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat. Konstitusi sudah dengan jelas mengakui keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, RUUP tidak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat atau yang serupa dengan itu.

Terkahir yakni masalah bahaya Pengadaan Tanah dan Bank Tanah. Keinginan RUUP yang bermaksud membentuk Bank Tanah, nampaknya hanya menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur.

Bank Tanah yang akan dibentuk pemerintah adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya berasal dari APBN bahkan dapat berasal dari penyertaan modal, kerjasama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber lainnya.

"Jika dibentuk, Bank Tanah beresiko memperparah ketimpangan, konflik, melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktek spekulan tanah. Ironisnya, sumber tanah Bank Tanah justru berasal dari tanah Negara sehingga berpotensi menghalangi agenda RA," tuturnya.

Berdasarkan kedelapan masalah pokok di atas, koalisi menyimpulkan bahwa RUU Pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.

Adapun Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari:
- Gunawan Wiradi (IPB)
- Endriatmo Soetarto (IPB)
- Achmad Sodiki (UNIBRAW)
- Maria Rita Roewiastoeti (KPA)
- Hariadi Kartodihardjo (IPB)
- Bonnie Setiawan (KPA)
- Boedhi Wijardjo (KPA)
- Ida Nurlinda (UNPAD)
- Muhammad Maksum Mahfoedz (PB NU)
- Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah)
- M. Shohibuddin (IPB)
- Noer Fauzi Rachman (BP2DK)
- Rikardo Simarmata (UGM)
- Laksmi Adriani Savitri (UGM)
- Muchtar Luthfi (PP Muhammadiyah)
- Idham Arsyad (KPA)
- Iwan Nurdin (KPA)
- Dewi Kartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Agustiana, Sekjend Perjuangan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
- Yudi Kurnia, Dewan Pimpinan Serikat Petani Pasundan (SPP)
- Muhammad Nuruddin, Sekjend Aliansi Petani Indonesia (API)
- Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
- Budi Laksana, Sekjend Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Alfi Syahrin, Ketua Umum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
- Nurhidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
- Mujahid Hizbullah, Sekjend Serikat Tani Indramayu (STI)
- Dahniar Ramanjani, Direktur HuMa
- David Sitorus, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved