Sistem Zonasi Belum Bisa Meningkatkan Angka Partisipasi Anak Bersekolah
LPA Generasi menyebut sistem zonasi PPDB yang diterapkan pemerintah belum mampu meningkatkan angka partisipasi anak bersekolah.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi menyebut sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang diterapkan pemerintah belum mampu meningkatkan angka partisipasi anak bersekolah.
Direktur Eksekutif LPA Generasi, Enna Nurjanah mengatakan salah satu penyebabnya adalah jumlah sekolah yang tidak merata.
"Jumlah sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas jumlahnya sangat minim di beberapa lokasi di Indonesia, seharusnya pemerintah melihat kondisi ini dulu," ujar Enna Nurjanah dalam diskusi “PR Pendidikan di Hari Anak” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019).
Enna mengatakan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka partisipasi bersekolah masih jauh dari rencana pembangunan jangka menengah negara (RPJMN) yang berakhir di tahun 2019 ini.
Sehingga menurutnya pemerintah tak bisa hanya mengandalkan sistem zonasi untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, tetapi harus melakukan sapu bersih terhadap anak-anak yang tidak bersekolah.
Baca: Zulfikar Pemeran Jamal Preman Pensiun Ditangkap Terkait Narkoba, Apa Kata Pengacaranya?
Baca: Detik-detik Penyelamatan Seorang Wanita Hamil yang Nyaris Bunuh Diri dari Atas Tebing
Baca: Identitas 3 Korban Tewas Akibat Terbakarnya Truk Tangki Pertamina, Salah Satunya Sopir
"Angka partisipasi anak bersekolah menurun tetapi angka putus sekolah meningkat, ini menunjukkan sistem zonasi belum bisa menyelesaikan masalah tersebut. Kuncinya adalah kemauan kuat pemerintah dan politik agar seluruh anak di Indonesia dapat bersekolah," tegasnya.
"Pemerintah harus bekerja keras untuk mencapai target wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang menjadi target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar untuk semua. Padahal hingga kini wajib belajar sembilan tahun belum tuntas," imbuhnya.

Enna juga menjelaskan bahwa sistem zonasi yang tak sama tiap daerah memunculkan potensi ruang korupsi baru yang membuat anak yang kurang mampu makin kesulitan untuk masuk sekolah negeri.
"Salah satunya adalah penggunaan surat keterangan tidak mampu yang katanya mau dihapus tapi di beberapa daerah masih digunakan sebagai syarat mendaftar di suatu sekolah. Dan model zonasi masih bervariasi tak sesuai Peraturan Kemendikbud yakni persentase 80 persen zonasi, 15 persen prestasi dan lima persen pindahan," ucapnya.
Disamping itu Enna juga menyoroti masih banyaknya kekerasan fisik dan kejahatan seksual yang masih terjadi di Indonesia yang terpantau melalui media sosial maupun berita di media massa.
Padahal menurutnya pemerintah sudah mengeluarkan regulasi tentang pencegahan dan penganggulangan kekerasan di sekolah yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
"Tapi hanya sedikit guru yang tahu soal peraturan itu. Jika sekolah tak mampu melindungi anak maka akan semakin banyak anak yang berpotensi putus sekolah," kata dia.
Menurut data BPS tahun 2018 angka partisipasi anak usia 7-12 tahun sebesar 99,2 persen; usia 13-15 tahun 95,36 persen; usia 16-18 tahun 71,99 persen; dan usia 19-24 tahun hanya 27,92 persen.