Selasa, 7 Oktober 2025

Prof Taruna Ikrar Luncurkan Buku Terbaru 'Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership'

Buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership" ini diluncurkan di Amerika Serikat kemarin.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com
Suasana peluncuran buku Prof Dr Taruna Ikrar berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership". 

TRIBUNNEWS.COM, AS -  Prof.dr. Taruna Ikrar, M.Pharm. MD.,PhD kembali menyampaikan ide dan pemikirannya yang brilian melalui sebuah buku yang baru saja dia tulis.

Buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership" ini diluncurkan di Amerika Serikat kemarin.

Dokter sekaligus ilmuwan handal dari Indonesia ini menjabat sebagai spesialis (specialist) di departemen anatomi dan neurobiologi di Universitas California di Irvine.

Sejak January 2017, Prof Taruna Ikrar diangkat sebagai Professor dan Dekan di Biomedical Sciences, The National Health University, California, Amerika Serikat (AS).

Dalam buku setebal 283 halaman ini, pria kelahiran Makassar ini memberikan perspektif visioner mempersiapkan Indonesia yang lebih baik dan modern dalam makna yang hakiki.

Buku berjudul
Buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership". (Tribunnews.com)

Berikut resensi buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership":

Indonesia merupakan Negara yang sangat besar dengan luas wilayah yang membentang dari sabang hingga merauke, yang berada diantara dua samudera (Samudara Pasifik dan Hindia) serta dua benua (Benua Asia dan Australia) dan terdiri dari lebih 17ribuan pulau, dan didiami oleh ratusan etnis atau suku yang berbicara dalam banyak bahasa yang berbeda-beda.

Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam tahap perkembangan yang positif dan layak diapresiasi.

Pendapat ini merujuk beberapa realitas politik seperti pelaksanaan pemilu yang demikian berkembang mulai pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya pada tingkat nasional, yang berlangsung relatif aman terkendali dan tanpa menimbulkan gejolak yang berarti.

Selanjutnya dari segi ekonomi, Indonesia juga mengalami kemajuan yang luarbiasa.

Bahkan Indonesia akan menjadi perekonomian keempat terbesar dunia pada 2050, melonjak dari posisi kedelapan pada 2016.

Sebelum sampai pada posisi itu, Indonesia akan berada pada posisi kelima pada 2030.

Prediksi ini ditulis oleh satu perusahaan konsultan terkemuka dunia, Price Waterhouse Coopers (PWC), yang antara lain mengutip data dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Menurut PWC, pada 2016 Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar US$3 triliun, dan akan melonjak menjadi US$5,4 triliun pada 2030 dan US$10,5 triliun pada 2050.

Pada 2030 perekonomian Indonesia akan menggeser posisi Rusia dan Brazil, dan pada 2050 akan menggeser posisi Jepang. Tiga negara yang akan lebih besar dari Indonesia berturut-turut adalah China, India, dan Amerika Serikat.

Baik dari segi demokrasi dan ekonomi, demikian pula dalam semua sektor kemajuan Indonesia, sangat ditentukan oleh kepemimpinan.

Olehnya, untuk menggapai kemajuan pesat tersebut dibutuhkan pemimpin yang hebat. Kepemimpinan Indonesia dapat dilihat dalam perpektif neurosains yang disebut Neuroleadership.

Kemudian, secara demografi, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia.

Banyaknya jumlah populasi ini hendaknya dibarengi dengan kemampuan me-manage dan memimpin Indonesia agar siap menghadapi persaingan global, termasuk juga bonus demografi yang dapat memberi keuntungan besar bagi Indonesia, atau justru kerugian karena tidak adanya persiapan.

Buku ini disusun atas dasar mempersiapkan Indonesia yang lebih baik dan Modern dalam makna yang hakiki.

Dahulu Bung Karno, bapak proklamator Indonesia pernah berkata, “Jangan pernah melupakan sejarah!” Seperti itu pula semangat yang hendak dihadirkan melalui buku ini, karena sebagian besar buku ini berisi uraian Prof. Dr. Taruna Ikrar yang dibahas berdasarkan alur pemikiran seorang neurosaintis.

Sehingga, topik yang dibahas pun amat beragam dari skala lokal sampai internasional, dari iman sampai hard science, dari kejahatan sampai soal Tuhan, dari soal korupsi sampai pemilu.

Yang menarik dari kesemua catatan ini, bahwa semuanya saling terhubung dan melengkapi, seperti halnya rangkaian sinaps yang terjalin di dalam otak, dengan premis dasar yang sangat jelas: ajakan untuk optimistik dalam memandang masa depan.

Dalam buku ini, Penulis dengan jujur merumuskan dan kemudian mengurai setiap persoalan apa adanya, tanpa niatan untuk merelatifkan apalagi menutupinya.

Bahkan, melalui tulisan-tulisan itu, kita bisa ikut merasakan betapa geramnya penulis melihat persoalan yang diulasnya.

Melihat korupsi yang justru melibatkan petinggi mahkamah konstitusi; melihat manajemen kesehatan yang porak poranda; melihat calon presiden yang miskin visi internasional; melihat diabaikannya para cerdik pandai; melihat radikalisme berbungkus agama; dan sebagainya.

Tetapi pada saat yang sama, sesuai dengan kapasitasnya, Prof. Dr. Taruna Ikrar enggan terjebak dalam kegenitan “asal komentar.”

Dalam artikel-artikelnya dia banyak menghindari memberikan resep solusi yang instan. Dalam sebagian artikel dia lebih memilih menyerukan perubahan cara berpikir, yang secara berkelanjutan bisa dijadikan perangkat untuk mencari solusi; sementara pada artikel yang lain dia memilih untuk membantu menempatkan persoalan dalam perspektif yang semestinya.

Daya pikat lain dari artikel-artikel dalam buku ini, adalah logika epistemik penulis yang entrepreneurial. Bagaimanapun juga, seluruh artikel ini adalah sebuah penjabaran logika, disiplin ilmiah, dan cara pikir dalam melihat sesuatu. Dengan kata lain kumpulan artikel ini adalah paparan bagaimana Penulis sedang berepistemologi.

Dalam berepistemologi itu, terasa sekali bahwa Prof. Dr. Taruna Ikrar menggunakan mindset entrepreneurial dan dialektika neurosains, khususnya dalam memandang masalah.

Bagi seorang entrepreneur, menemukan masalah, dengan definisi dan batasan yang jelas, adalah langkah awal untuk menemukan solusi; karena bisnis yang terbaik adalah bisnis solusi. Karena itu bagi seorang entrepreneur, masalah adalah aset. Semakin besar masalah yang ditemukan, semakin besar aset yang dia miliki.

Penulis dalam pemaparannya, dalam buku ini, membagi tulisannya dalam lima kelompok besar, dan setiap kelompok besar terdapat dua sampai lima kelompok kecil, dan dalam kelompok kecil terdapat dua sampai tujuh artikel.

Kelima kelompok besar itu adalah (1) soal neuroscience dan SDM, (2) kesehatan dan kebijakan kesehatan, (3) politik nasional dan internasional, (4) kebijakan publik, dan (5) Islam.

Selanjutnya dalam buku ini, Prof. Dr. Taruna Ikrar, memberikan solusi kebangsaan dengan cara berpikir neuroleadership berupa:

1. Growth Mindset dan 2. Memimpin Transformasi.

Keduanya bermanifestasi sebagai berikut :

1. Growth Mindset: Fakta ilmiah ini memberi harapan baru di hampir seluruh lini hidup manusia, termasuk dalam dunia kepemimpinan.

Jika satu individu bisa belajar dan berkembang tanpa batas, demikian halnya sebuah komunitas, organisasi, atau bahkan sebuah bangsa.

Maka tak berlebihan bila dalam buku ini menginspirasi pembaca untuk “optimistis”, di sinilah terletak argumen ilmiahnya yang paling mendasar. Jika satu individu bisa berubah dan berkembang menjadi lebih baik, tak pelak lagi, sebuah komunitas, organisasi, atau bangsa juga bisa berubah ke arah yang lebih baik.

Persoalannya adalah, apakah komunitas atau organisasi menyadari kemungkinan itu, dan apakah mereka tahu kemana perkembangan akan diarahkan. Bagi dunia leadership, persis pada yang terakhir ini terletak tantangan sekaligus peluang.

Di satu sisi seorang leader (mestinya) menyadari potensi perubahan dan perkembangannya, tetapi di sisi lain dia harus mampu menyadarkan seluruh pihak dalam komunitas atau organisasinya, baik tentang potensi maupun arah perkembangannya.

Dari sinilah kemudian muncul imperatif besar: ayo berkembang, ayo bertumbuh, ayo berjalan menuju sasaran. Banyak leaders yang kemudian semacam mantra baru, yakni bahwa untuk bisa mengakselerasi perubahan dan perkembangan, semua pihak perlu memiliki pola pikir bertumbuh.

Semua orang perlu yakin bahwa mereka memiliki peluang tumbuh dan berkembang tanpa batas. Di sinilah seorang leader berhadapan dengan mentalitas pribadi-pribadi yang dipimpinnya.

Mentalitas itu tercipta dari pengalaman, pendidikan, sejarah hidup, dan lingkungan. Dalam realitas memang ada orang-orang yang memiliki mentalitas dan pola pikir bertumbuh (growth mindset).

Mereka adalah orang-orang yang optimis melihat masa depan, karena yakin bahwa masa depan yang lebih baik bisa diperjuangkan bersama. Tetapi sebaliknya ada juga orang-orang yang “merasa sudah jadi”. Mereka selalu mengklaim “saya ya seperti ini.”

Mereka tidak mau berubah dan selalu berkilah “saya punya prinsip.” Orang seperti ini cenderung tertutup terhadap aneka kemungkinan baru (fixed mindset). Kalau di sini dipakai istilah “cenderung”, karena pada dasarnya tidak ada orang yang 100% berpola pikir bertumbuh atau 100% berpola pikir tetap.

Catatan ini perlu dikemukakan karena banyak leaders yang berpikir begitu. Bahkan banyak yang berpikir bahwa pembagian itu sedemikian mekanistis sehingga bisa dilakukan proses switch dari fixed mindset ke growth mindset.

2. Memimpin Transformasi. Dalam diri setiap manusia terdapat baik kecenderungan untuk tak mau berubah maupun kecenderungan untuk berubah. Ini menyangkut baik sikap mental maupun cara berpikir (mindset).

Tetapi pada saat yang sama kita menyadari bahwa mentalitas dan pola pikir bertumbuhlah yang akan membawa kita pada realitas baru yang kita impikan, yakni realitas baru Indonesia modern.

Di sanalah terletak tugas seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus mampu (1) menyadarkan orang tentang perlunya hijrah dari fixed mindset menuju growth mindset, dan (2) harus mampu memimpin hijrah itu sendiri.

Menggunakan terminologi hijrah, dalam neuroleadership ada satu “situasi jahiliah” yang perlu disadari dan dipikirkan. By default manusia akan bekerja dengan otak emosinya; dengan reptilian-brain-nya. Ketika mengambil keputusan atau merespon sesuatu, pertama-tama yang akan muncul adalah logika emosinya.

Ketika harus memilih makanan, minuman, teman, pasangan hidup, bahkan pilihan politik, pertimbangan yang pertama muncul adalah manakah yang menyenangkan hati; mana yang lebih memuaskan. Proses pemilihan lebih didasarkan pada faktor suka atau tidak suka.

Alasan rasional biasanya baru menyusul kemudian, lebih sebagai alat pembenar. Yang terakhir ini bukan penemuan yang terlalu baru. Sudah lama para pembuat iklan, perancang kampanye politik, dan para negosiator bisnis memanfaatkan fakta itu.

Dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka memengaruhi kelompok sasaran untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu, sehingga kemudian mudah diarahkan pada keputusan tertentu.

Lihat saja iklan-iklan rokok yang justru mentertawakan bahaya merokok. Justru lelucon itu yang kemudian menyebar dan menciptakan deep connection antara masyarakat dengan produsen rokok.

Atau contoh yang lebih mendunia, bagaimana Cambridge Analytica, yang mampu “menaklukkan” masyarakat yang berpikir maju seperti Inggris dan Amerika, hingga Brexit dan Trump menang atas lawannya. Otak emosi adalah bagian otak yang paling purba.

Dia ada pada binatang yang paling primitif, yakni kelompok reptil. Itu sebabnya otak emosi disebut dengan reptilian brain. Secara umum dia bekerja untuk tujuan survival. Karena itu dia hanya melihat segala sesuatu dari dua sisi: ancaman atau kesempatan.

Kalau dalam dunia motivasi kita mengenal istilah reward dan punishment, sesungguhnya yang sedang dieksploitasi dalam proses motivasi itu adalah otak reptil seseorang. Dan fakta brutal yang kita hadapi adalah bahwa sebagian besar manusia mendasarkan keputusannya pada otak emosi ini.

Orang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena takut terjadi sesuatu yang buruk atau membahayakan, atau demi mendapatkan sesuatu. Padahal manusia, atau kelompok homo sapiens, memiliki otak modern, yakni otak sadar atau otak berpikir. Betapapun secara volume bagian ini kecil, otak sadar inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain.

Otak inilah yang membuat orang memiliki kesadaran diri; membuat orang bisa memiliki sistem nilai; bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik; bahkan bisa membuat orang berpikir transenden, memikirkan hal-hal yang melampaui apa yang tertangkap oleh indra. Otak modern membawa orang ke tahap bijaksana.

Akhirnya, buku ini sebagai wahana baru dalam memandang kepemimpinan berbasis neurosains, sehingga sangat layak menjadi referensi ilmu kepemimpinan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved