Wiranto Sebut Sumpah Pocong, Haris Azhar : Apa Pantas Dia Jadi Menko?
Menurut Haris Azhar, pernyataan mantan ketua umum Partai Hanura itu diibaratkan sebagai katak dalam tempurung
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai tantangan untuk melakukan "sumpah pocong" tidak tepat dilontarkan dari Wiranto, yang notabene masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
Menurut Haris Azhar, pernyataan mantan ketua umum Partai Hanura itu diibaratkan sebagai katak dalam tempurung.
Baca: Kivlan Zen: Kok Prabowo Juga Diajak Sumpah Pocong? Ini Maksudnya Apa?
"Kalau masih ada yang pakai sumpah pocong, itu istilahnya katak dalam tempurung. Kalau dia levelnya menteri, kasian. Kok ada menteri, menterinya dibidang polhukam kordinator lagi, masih ngomongin sumpah pocong? Apa pantes dia jadi menko?" kata dia dalam sesi diskusi di kawasan Menteng, pada Selasa (5/3/2019).
Sehingga, kata Haris, tidak salah apabila terdapat desakan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menolak Wiranto sebagai orang yang diduga turut terlibat dalam pelanggaran HAM pada 1998 menjabat sebagai menkopolhukam.
Haris Azhar melihat, alasan Wiranto menantang Kivlan Zein dan Prabowo untuk "sumpah pocong", karena sama-sama diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat. P
adahal, kata dia, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Undang-Undang mengatur penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Dia menuding Wiranto enggan menempuh jalur PBB untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, karena namanya tercatat di sana.
"Dan komunitas global sudah otomatis jalan orang ini tak bisa kemana-mana, karena namanya tersandung di laporan PBB. Jadi dia mau memakai penyelesaian hukum PBB dia kena, akhirnya dia make sumpah pocong," kata Haris Azhar.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menantang capres Prabowo Subianto dan Mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zein untuk melakukan sumpah pocong, untuk membuktikan dalang kerusuhan 1998.
"Saya berani sumpah pocong saja, 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu saya, Prabowo, Kivlan Zein? sumpah pocong kita. Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu, biar jelas masalahnya, jangan asal menuduh saja," ujar Wiranto di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/2/2019).
Wiranto yang saat itu menjadi Panglima ABRI mengaku, dirinya melakukan berbagai langkah edukatif, persuasif, dan dialogis dengan teman-teman reformis pada 1998, dimana mengajak semua elemen tidak melakukan kerusuhan nasional yang dapat merugikan Indonesia.
"Bukan saya sebagai dalang kerusuhan, saya mencegah kerusuhan terjadi dan ternyata tiga hari saya sudah mampu mengamankan tensi ini, tanggal 13 Mei terjadi penembakan di Trisakti, pagi. Siang sudah terjadi kerusuhan di Jakarta, tanggal 14 Nei kerusuhan memuncak, 14 malam saya kerahkan pasukan pasukan dari Jawa Timur, tanggal 15 pagi Jakarta sudah aman dan seluruh wilayah Indonesia sudah aman," paparnya.
Ia pun menilai kerusuhan 1998 merupakan peluang dirinya jika ingin menjadi Presiden RI dengan melakukan kudeta pemerintahan, tetapi hal ini tidak dilakukan demi Indonesia lebih baik lagi.
"Tidak saya lakukan (kudeta) karena saya mencintai republik ini dan teman-teman reformis yang akan mengubah negeri ini jadi lebih baik lagi, tidak ada sama sekali keinginan, kehendak, tindakan saya yang mengarah kepada melakukan langkah-langkah untuk mengacaukan tahun 1998 sebagai Menhankam/Pangab yang membawahi TNI dan Polisi," paparnya.
Sebelumnya, Kivlan Zein menuduh Menko Polhukam Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998. Ia menyebut Wiranto memainkan peranan ganda dan isu propagandis saat masih menjabat sebagai Panglima ABRI.
Tujuannya untuk menumbangkan Presiden kedua Soeharto. Hal tersebut disampaikan Kivlan dalam acara "Tokoh Bicara 98" di Add Premiere Ballroom, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Baca: Haris Azhar Ulas Janji Politik Jokowi soal Penegakan Hukum: Konsisten Tidak Ada yang Diselesaikan
Jenderal bintang dua itu mengaku telah mengetahui kelicikan Wiranto sejak dirinya meninggalkan Jakarta saat kerusuhan terjadi.
"Ya sebagai Panglima ABRI waktu itu, Pak Wiranto atas kejadian itu kenapa dia meninggalakan Jakarta dalam keadaan kacau, dan kenapa kita yang untuk amankan Jakarta tidak boleh kerahkan pasukan, itu. Jadi kita curiga loh keadaan kacau masa nggak boleh mengerahkan pasukan," katanya.