Koalisi Masyarakat Sipil: Pelaporan KPU Berdampak Negatif pada Kualitas Pemilu
Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan keberatan terhadap upaya pelaporan Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner Hasyim ke Bareskrim Polri
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan keberatan terhadap upaya pelaporan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman dan Komisioner KPU Hasyim Asy'ari ke Bareskrim Polri.
Sebanyak 34 anggota Dewan Pimpinan Daerah DKI Jakarta Partai Hanura yang diwakili Ketuanya, Muhammad Sangaji melaporkan kedua Komisioner ke Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/1649/XII/2018/BARESKRIM.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, mengatakan pihaknya
menghormati upaya-upaya hukum yang ditempuh, sebagai hak dari setiap warga negara.
Namun, kata dia, perlu diingat, aparat penegak hukum tidak boleh memidanakan individu penyelenggara negara yang berupaya menegakan kehendak UUD 1945 berdasarkan putusan MK.
"Pelaporan terhadap penyelenggara Pemilu dapat berdampak negatif pada kualitas Pemilu 2019 dan demokrasi Indonesia," ujar Titi Anggraeni, Senin (24/12/2018).
Laporan ini merupakan kelanjutan dari upaya Oesman Sapta Odang (OSO) untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sementara telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik merangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Baca: KPU Kota Tegal Minta Parpol Laporkan Kasus Perusakan Alat Peraga Kampanye Disertai Bukti
Setelah adanya Putusan Pengujian Peraturan KPU oleh Mahkamah Agung (MA) dan Putusan PTUN DKI Jakarta, KPU telah melakukan langkah-langkah analisis dan konsultasi dengan berbagai pihak, untuk menjalankan Putusan MK sesuai dengan wewenangnya.
KPU memberi waktu sampai 21 Desember untuk melengkapi syarat pencalonan.
Namun, KPU justru dilaporkan dan mungkin akan dilakukan langkah-langkah lainnya, seperti pelaporan kepada Badan Pengawasn Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Adanya dua putusan dari MA dan PTUN dijadikan dasar untuk melakukan tindakan-tindakan lanjutan ini. Padahal, perlu dilihat lebih kritis, bunyi amar putusan dan penalaran (legal reasoning) kedua putusan tersebut.
Apalagi, harus diingat bagaimana kedudukan Putusan MK secara konstitusional.
Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, MK memberikan tafsir konstitusional atas Undang-Undang. MA dan semua pengadilan lain di bawah MA, yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan tindakan penyelenggara negara berdasarkan undang-undang, wajib mengacunya pada Putusan MK yang sudah menegaskan tafsir konstitusional UU Pemilu.
Untuk itu, pihaknya menyatakan dukungan penuh terhadap KPU yang secara konsisten menjalankan wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara Pemilu, sesuai dengan UUD 1945 dan UU Pemilu.
"Dalam konteks memastikan pelaksanaan kehendak Konstitusi ini, kami juga menghimbau Bawaslu dan DKPP untuk secara konsisten menerapkan UUD 1945 dan UU Pemilu dalam kasus-kasus lanjutan dari kasus ini," tambahnya
Para Pegiat Pemilu, para pemikir Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, dan para advokat yang mendukung langkah KPU untuk melaksanakan Putusan MK.
Mereka yaitu, PSHK, NETGRIT, KOPEL, ICW. Perludem, PBHI, PUSaKO UNAND, Rumah Kebangsaan, PERAK Indonesia, SaveDPD SaveDemocracy.