Mahfud MD Ditanya Pelajar dan Masyarakat Indonesia di Jepang Tentang BPIP dan Pelajaran Pancasila
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tampil dalam diskusi tentang Pemilu Ceria dan Anti Hoax di Kota Hamamatsu, Perfektur Shizuoka.
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tampil dalam diskusi tentang Pemilu Ceria dan Anti Hoax di Kota Hamamatsu, Perfektur Shizuoka, Sabtu (8/7/2018) malam.
Acara yang diselenggarakan oleh PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Shizuoka itu berlangsung meriah, bukan hanya dihadiri oleh mahasiswa tetapi juga oleh masyarakat Indonesia yang bekerja di daerah Shizuoka.
Dalam ceramahnya mantan Ketua MK yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu mengatakan bahwa pemilu adalah salah satu wujud yang paling konkret dari implementasi demokrasi.
"Karena kita sudah memilih demokrasi sebagai asas dan sistem ketatanegaraan, maka marilah kita laksanakan pemilu dengan sebaik-baiknya," ajak Mahfud.
Dikatakan Mahfud, saat ini kita sudah mempunyai instrumen-instrumen hukum untuk berjalannya Pemilu yang baik, yakni adanya KPU yang independen, adanya Bawaslu/Panwaslu, DKPP, dan MK yang semua mengawal agar pemilu dan hasilnya baik.
"Bahkan sekarang ini UU memberi tempat kepada pemantau yang dibentuk oleh masyarakat," tambah Mahfud.
Baca: Petugas Lapas Sukamiskin Dibekali Teknologi GPS saat Mengawal Warga Binaan yang Izin ke Luar
Pada era Orde Baru dulu proses pemilu dari hulu ke hilir didominasi oleh Pemerintah yang berpusat di Departemen Dalam Negeri.
Pada sesi tanya jawab Mahfud banyak ditanya tentang banyaknya hoax yang menimbulkan kesan permusuhan dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat menjelang pemilu.
"Dengan banyaknya hoax di medsos, apa tindakan BPIP? Apakah tidak ada rencana menghidupkan lagi pelajaran Pancasila di sekolah dan universitas?" tanya seorang peserta.
Mahfud menjelaskan bahwa BPIP bukan lembaga eksekutor atau pembuat kebijakan.
Anggota Dewan Pengarah BPIP itu menjelaskan bahwa BPIP adalah pembantu Presiden dalam membuat dan merumuskan kebijakan dalam pelaksanaan Pancasila.
Yang menginplementasikan kebijakan Presiden untuk melaksanakan ideologi Pancasila adalah unit-unit pemerintahan yang terkait seperti Kemendikbud, Kemenristek-Dikti, POLRI, Kemendagri, Kemenag dan lain-lain.
Sedangkan BPIP hanya punya hubungan koordinasi saja dengan unit-unit terkait tersebut dalam melakukan aktivitas sosialisasi.
"BPIP tidak bisa mengeksekusi. Orang yang tidak paham tupoksi pemerintahan, kalau ada kasus selalu menunjuk BPIP atau menanyakan, mana BPIP kok diam saja. Padahal BPIP itu bukan bertugas menangani kasus konkret, melainkan merumuskan kebijakan yang hanya diserahkan kepada Presiden," tambah Mahfud yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) se Indonesia.
Ada pun untuk menangani isi medsos yang liar dan destruktif Indonesia sudah mempunyai UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan membentuk Badan Siber Nasional.
Sejauh menyangkut pendidikan Pancasila, Mahfud menjelaskan adanya kabar gembira bahwa dua pekan yang lalu Kemendikbud sudah mengumumkan akan dimasukkannya kembali Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah.
"Kemenristek-Dikti juga sedang menyiapkan perangkat kebijakan tentang pendidikan Pancasila di perguruan tinggi," kata Mahfud.
Ditambahkan bahwa UGM, Undip, UNS dan lain-lain memang sejak semula tetap mempertahankan mata kuliah Pancasila di semua program studi.
Tapi memang ada yang harus diselesaikan dengan kebijakan nasional pendidikan tinggi karena masih ada yang berpendapat bahwa Pancasila tak perlu jadi mata kuliah sendiri karena materinya dengan sendirinya sudah melekat pada mata kuliah lain seperti Hukum, Politik, Filsafat, Etika Ptofesi, Agama, Sejarah, Geografi, dan lain-lain.
Pandangan yang belum seragam seperti itulah yang perlu diselesaikan oleh Kemenristek-Dikti.
"Kami di BPIP berpendapat bahwa Pancasila itu harus menjadi mata kuliah tersendiri," tambah Mahfud MD.