Kasus Suap di Bekasi
Jadi Tahanan KPK, Tak Ada Lagi Senyum dan Canda Bupati Bekasi
Sikap berbeda 180 derajat diperlihatkan oleh Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yassin usai diperiksa 16 jam di Kantor KPK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap berbeda 180 derajat diperlihatkan oleh Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yassin usai diperiksa 16 jam di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Tribun yang sempat ikut saat berbincang dengannya di Kantor Bupati Bekasi pada Senin (15/10) siang, masih melihat senyum yang mengembang di wajahnya.
Masih terdengar candaan yang dilontarkannya saat wartawan yang hadir mencecar pertanyaan mengenai penangkapan anak buahnya oleh KPK.
Baca: PT MSU akan Lakukan Investigasi Internal Bekerjasama dengan KPK
Padahal, sehari sebelumnya, saat ditanya mengenai proyek tersebut merupakan perizinan properti dari perusahaan besar di daerah tersebut, Neneng sama sekali tidak mengetahui. "Menurut KPK sih begitu ya. Kalian lebih tahu lah. Ayo kasih tahu saya dong," ujarnya seraya berkelakar kepada wartawan.
Namun, tak lagi ada senyuman dan canda dari wajahnya usai pemeriksaan. Mengenakan rompi oranye dengan kaos panjang berwarna hijau, dia tampak menghindari berbagai pertanyaan yang ditujukkan kepadanya. Ia terdiam hingga masuk ke dalam mobil yang mengantarkannya ke Rutan KPK.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menguraikan bahwa bupati Bekasi yang sedang menjalani periode keduanya itu, dijadikan tersangka saat pagi hari setelah penangkapan sembilan tersangka lainnya. Sehingga, penjemputan dilakukan pada sore hari.
"Memang kami penjemputan pada sore hari, karena memang naik menjadi tersangka itu siang saat beliau kami dengar memberikan pernyataan pers," ujarnya di kantor KPK, Jakarta.
Pihaknya harus benar-benar memastikan bahwa bupati memang terlibat dalam kasus suap perizinan properti Meikarta dari pimpinan Lippo Group serta menunggu pemeriksaan dari tersangka lain, yakni Kabid Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rachmi.
"Semuanya harus kami periksa awal terlebih dahulu dari tersangka yang sudah kami tetapkan sebelumnya," urai dia.
Bermasalah Sejak Awal
Kota Baru yang dijanjikan sebagai Kota Masa Depan Meikarta terus berpolemik sejak awal pembangunannya. Pertengahan 2017 lalu, mega proyek di Cikarang, Bekasi tersebut bermasalah karena diketahui tidak mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat.
Hanya 84,7 hektar yang diberikan izin membangun. Sementara untuk ratusan hektar lainnya, belum berizin.
Ketua Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan mengaku tidak terkejut atas kasus yang saat ini tengah ditangani oleh KPK itu. Pasalnya, dia sudah menduga banyak kesalahan yang dilakukan oleh pihak pengembang Meikarta.
"Sebenarnya kalau kita lihat, dari awal mereka sudah bermasalah. Mulai dari Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga IMB," ujarnya saat dihubungi Tribun, Jakarta, Selasa (16/10).
Namun pihak pengembang, lanjutnya, seakan memaksakan agar pembangunan terus berjalan. Bukan hanya itu, pengembang dinilai tidak memiliki itikad baik untuk membahas Amdal bersama dengan Walhi.
Padahal, hampir seluruh kebijakan mengenai hal itu, Walhi selalu diikutsertakan baik oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi.
"Biasanya kalau bahas Amdal, kita selalu dilibatkan. Tapi, semenjak kami menolak pembangunan, tidak ada lagi pembahasan soal itu," ucapnya.
Hal itu juga yang menurutnya, proses perizinan yang dilakukan oleh Meikarta berlarut-larut. Setidaknya, dia menghitung dua kesalahan besar yang telah dilakukan. Pidana maladministrasi dan pidana lingkungan.
Dalam kajian Walhi, lokasi yang saat ini dibangun untuk "Kota Masa Depan" itu, diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau, daerah penyerapan air dan perumahan. Khusus untuk perumahan, menurutnya tidak seluas yang diinginkan oleh Lippo Group sebagai pengembang.
"Untuk perumahan memang hanya 80 hektar itu saja. Selebihnya untuk ruang terbuka hijau dan penyerapan air. Tapi, mereka kan maunya sampai 500 hektar dibeton semua," jelasnya.
Sementara dari data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) hingga Juli 2018 lalu, proyek Meikarta mendapatkan aduan paling banyak terkait properti. Dari data yang dapat dikutip, konsumen mengadu soal pengembalian uang muka.
Pasalnya, apa yang dipesan tidak sesuai dengan iklan yang dipasang pihak pengembang. Sebanyak 11 dari 32 pengaduan soal properti berasal dari konsumen Meikarta.(ryo)