Petani Waspada Paceklik karena Kemarau Panjang
Sentra pangan Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi pun tak luput dari ancaman paceklik ini.
Selain itu, sebagian petani katanya juga harus melakukan modifikasi pompa air dengan mengganti bahan bakar solar dengan gas 3 kg untuk dapat menghemat biaya Rp100 ribu-Rp150 ribu.
Disebutkan Sutopo, selama daerah aliran sungai tidak di tata dengan baik, konservasi tanah dan air tidak diindahkan, otomatis mata air dan sumber air semakin berkurang.
Kemudian, masih adanya pembuangan limbah dan sampah ke sungai-sungai secara otomatis akan memerosotkan kualitas air di beberapa daerah.
“Selama masalah ini tidak ditangani, defisit air atau kekeringan akan semakin meluas,” ucapnya.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Guswanto.
Dia mengatakan jika musim kemarau tahun ini mempengaruhi sektor pertanian, khususnya di sentra penghasil beras yang mengandalkan sawah tadah hujan.
Guswanto menjelaskan, kondisi iklim yang sangat beragam variabilitas dan anomalinya membuat iklim Indonesia semakin sulit untuk diprediksi.
Saat ini 60 persen sampai dengan 70 persen wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau.
Selama kurun waktu tiga tahun 2015-2018 bulan September merupakan puncak musim kemarau.
Di mana tahun 2015 merupakan kemarau yang sangat kering, dan di tahun 2018 lebih kering dibandingkan dengan tahun 2017-2018.
"Jelas sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mengandalkan hujan,” katanya, Kamis (27/9/2019).
Dijelaskannya, berdasarkan monitoring yang dilakukan BMKG saat ini, beberapa daerah di Indonesia yang masih mengalami kemarau antara lain, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa, Sumatera Selatan, serta Jawa Tengah.
BMKG memprediksi bahwa musim kemarau masih akan melanda sebagian wilayah Indonesia hingga bulan Oktober mendatang.