Korupsi KTP Elektronik
Dua Minggu Lamanya Fredrich Yunadi Tulis 2.000 Halaman Nota Pembelaan dari Balik Penjara
Siska tampak menyimak sambil menggigit-gigit kuku dan memegang-megang bibirnya ketika Fredrich membacakan pledoi.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi membawa sepuluh buah bundel foto copy nota pembelaannya (pledoi) ke dalam ruang sidang utama pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat (22/6/2018) dengan menggunakan dua buah koper setinggi sekitar pinggang orang dewasa.
Fredrich mengungkapkan bahwa setiap nota pembelaan yang dijilid rapi berwarna putih itu berisi sekitar 2.000 halaman atau persisnya 1.865 halaman ditambah lampiran-lampiran.
Setelah sidang dibuka sekitar pukul 11.30 WIB Fredrich mengungkapkan kepada Majelis Hakim bahwa isi dari nota pembelaannya terdiri dari dua bagian.
Satu bagian berisi transkrip pembicaraan dari persidangannya sejak awal yang berjumlah sekitar 1.200 halaman dan bagian kedua adalah nota pembelaan beserta lampirannya berjumlah sekitar 800 halaman.
Ia juga menyampaikan tim pengacaranya juga akan membacakan nota pembelaannya sendiri yang berjumlah sekitar 300 halaman.
Di sela-sela skors ia mengatakan nota pembelaan berjumlah ribuan lembar tersebut dibuat selama dua minggu.
Baca: Warga Sempat Melihat Terduga Teroris Terkapar Bersimbah Darah di Depan Kiosnya
Ia mengungkapkan selama prosesnya ia menulis tangan terlebih dahulu ratusan lembar dari dalam penjara untuk kemudian diberikan kepada sekretarisnya agar diketik ulang.
"Dua minggu. Ini saya tulis tangan dulu baru diketik ulang sama anak buah," kata Fredrich di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (22/6/2018).
Ketika sidang dibuka kembali setelah diskors untuk ibadah salat Jumat, Fredrich dengan dibantu tim pengacaranya membagikan lima buah bundel nota pembelaan itu ke lima orang majelis hakim yang bertugas memeriksa perkaranya pada pukul 13.30 WIB.
Tim pengacara Fredrich membawa dua buah bundel ke atas mejanya. Dua buah bundel diletakkan di samping kursi terdakwa dan sebuah bundel lainnya dibacakan oleh Fredrich.

Terlihat istri Fredrich, Siska Yunadi dan anaknya Alexandra Yunadi menemaninya dari bangku pengunjung sebelah kanan baris kedua.
Siska tampak menyimak sambil menggigit-gigit kuku dan memegang-megang bibirnya ketika Fredrich membacakan pledoi.
Sementara Alexandra terlihat menunduk dan mengoperasikan ponsel di tangannya sambil sesekali menoleh ke depan.
Sebagian besar bangku pengunjung sidang terlihat kosong. Sebagian bangku diisi oleh wartawan yang datang untuk meliput.
Di bagian awal nota pembelaannya, Fredrich menjelaskan garis besar susunan isi dari nota pembelaannya.
Usai memaparkan hal itu, Fredrich yang mengenakan kemeja safari lengan panjang dengan pin silver bertuliskan "advokat" di saku sebelah kirinya kemudian menyampaikan pembelaannya.
Baca: Abdul dan Cesar Rela Menabung Rp 20 Juta Demi Nonton Langsung Piala Dunia
Poin pertama yang ia sampaikan dalam pledoinya adalah hal-hal yang menurutnya sebagai penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu antara lain penyadapan yang menurutnya tidak sesuai prosedur hukum dan pihak KPK yang tidak menghadirkan saksi kunci pada kecelakaan Setya Novanto yang pada saat itu berstatus sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik dan dicari oleh KPK.
Fredrich juga mengatakan bahwa selama penyidikan proses perkara Setya Novanto, penyidik KPK menghadirkan bukti-bukti palsu.
Fredrich juga meminta Majelis Hakim untuk memerintahkan agar Jaksa Penuntut Umum KPK ditahan atas perbuatannya tersebut.
Fredrich juga menuduh Majelis Hakim telah berpihak kepada KPK dengan tidak menghadirkan saksi kunci yang merupakan ajudan Novanto bernama Reza Pahlevi.
Tidak hanya itu, Fredrich juga membacakan sumpah jabatan hakim dan janji hakim dalam pledoinya untuk mengingatkan hakim agar dapat berlaku adil dan bijaksana sesuai dengan sumpah yang telah mereka buat ketika dilantik menjadi hakim.
Dengan lantang dan menyentak-nyentak mantan pengacara terpidana kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto itu memaparkan satu per satu pembelaannya dengan teori-teori hukum dan istilah-istilah teknis di bidang hukum.

Ia memaparkan secara rinci beserta bukti-bukti foto dan transkrip percakapan terlampir terkait peristiwa kecelakaan Setya Novanto versinya yang membuat dirinya duduk di kursi terdakwa perintangan penyidikan.
Dalam menyampaikan pledoinya, Fredrich sesekali terbata-bata membaca istilah-istilah hukum.
Ia juga sempat meminta izin kepada majelis hakim untuk minum.
Fredrich baru selesai membacakan pledoinya selama sekitar sembilan jam ditambah dua jam istirahat dari tiga kali skors majelis hakim.
Fredrich pun sempat meminta maaf kepada Majelis Hakim karena sempat terbata-bata karena kelelahan di akhir pledoinya.
"Mohon maaf Yang Mulia, karena kecapekan," kata Fredrich sambil berdehem.
Mengingat tebalnya pledoi yang Fredrich bawa ke persidangan untuk dibacakan, sebelum memulai Majelis Hakim telah meminta Fredrich untuk tidak membacakan seluruh isinya.
Hal itu dikarenakan Majelis Hakim telah sepakat demi efisiensi dan efektivitas.
Fredrich pun sepakat untuk tidak membacakan bagian transkrip persidangan dalam pledoinya yang berjumlah sekitar 1.200 halaman.
"Kami sudah sepakat untuk efektivitas waktu, nanti silakan saudara membacakannya, diresume (dirangkum)," kata Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat (22/6/2018).
Pada sidang dengan agenda tuntutan pada Kamis (31/5/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Fredrich Yunadi dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menghalangi proses hukum yang dilakukan penyidik KPK terhadap tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto.
Fredrich juga dituntut membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Fredrich dituntut karena melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
"Kami menuntut agar Majelis Hakim memutus menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersama-sama dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dalam perkara korupsi," kata Jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (31/5/2018).