Hapus Sekat Primordial, Milenial Lintas Iman Kunjungi Rumah Ibadah Berbagai Agama
Peace Train Indonesia (PTI) ke-5 tidak hanya mengajak kalangan milenial bergumul menghidupkan perdamaian antarumat beragama.
TRIBUNNEWS.COM, WONOSOBO - Peace Train Indonesia (PTI) ke-5 tidak hanya mengajak kalangan milenial bergumul menghidupkan perdamaian antarumat beragama.
Namun juga mengasah sisi kemanusiaan dengan mengunjungi anak-anak berkebutuhan khusus yang mempunyai kemampuan berbeda.
PTI 5 yang melibatkan 40-an peserta melakukan kunjungan ke asrama sekaligus sekolah tunarungu Dena Upakara Wonosobo yang memberikan fokus agar para penyandang tunarungu mampu berbicara.
Para peserta yang terdiri dari penganut Islam, Kristen, Katholik, Konghucu, penghayat kepercayaan dari Aliran Kebatinan Perjalanan dan Sikh berbaur dan berinteraksi dengan anak-anak tunarungu yang beberapa di antaranya menampilkan bakat tari.
Tamara Bleszynski tampak terlihat di tengah anak-anak tunarungu yang antusias karena diajak Tamara "wefie".
Tamara dan beberapa peserta PTI pun dikalungkan selendang diajak untuk bergabung menari di hadapan seluruh anak tunarungu dan peserta PTI.
"Apa yang saya saksikan di Dena Upakara (sekolah sekaligus asrama tunarungu) Wonosobo bahwa nothing is impossible; impossible is nothing," ujar artis yang sengaja ingin terlibat dalam peace train.
Bagi Tamara, kegiatan ini menunjukkan bahwa sharing is caring.
Kesan yang sama dirasakan pula peminat isu feminisme dan HAM, Faradilla Fajrin Al-Fath.
Baca: Tiga Orang Pria Diduga Masuk ke Rumah Anggota Polisi Usai Merusak Mobil Warga
"Bertoleransi bukan cuma soal bertenggang rasa dalam perkara perbedaan iman, tetapi juga menerima dan berbaur dengan saudara-saudara kita para difabel. Saya berharap di kemudian hari bukan cuma komunitas tunarungu yang akan dikunjungi dalam daftar Peace Train, tetapi difabel yang lain semisal tunanetra atau komunitas paralympic," ungkap Faradilla Al-Fath, salah satu peserta PTI.
Peserta asal GPIB Marturia Jakarta Benedikto Nimos Jonas juga merasa beruntung berinteraksi langsung dengan anak-anak tunarungu yang berasal tidak hanya dari wilayah Jawa, tetapi ada dari Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.
Selain menampilkan tari-tarian, beberapa lainnya menunjukkan prestasinya dalam menjuarai lomba-lomba atau yang bersiap untuk berkompetisi dalam menari, melukis dan desain grafis di berbagai kota luar Wonosobo.
"Kunjungan Peace Train ke Dena Upakara Wonosobo sangat baik karena dengan kunjungan ini membuat saya lebih mengenal tentang tunarungu," ungkapnya.
Kunjungan ke Gereja Kristen Jawa
Sebelum sampai asrama tunarungu, rombongan PTI 5 lebih dulu mengunjungi Masjid tertua di Wonosobo Al-Manshur dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wonosobo.
Dalam kunjungannya ke GKJ para peserta duduk di kursi jemaat bersama-sama belajar tentang agama Kekristenan.
Kunjungan ini bertujuan untuk menghilangkan sekat antara umat beragama.
Baca: Pikap Tercebur ke Sungai Kalimalang, Jasad Sang Sopir Ditemukan Setelah 20 Jam
Dalam pertemuan ini Anick HT salah satu penggagas PTI menggambarkan kondisi keagamaan masyarakat Indonesia yang tersekat-sekat.
Karena itulah Peace Train Indonesia mencoba menghapus itu semua.
"Tujuan peace train adalah mengajak anak-anak muda untuk mengenal perbedaan. Peace Train Indonesia untuk menghapus sekat-sekat itu dan juga sebagai jembatan pemuda lintas-agama untuk mengenal satu sama lain," tuturnya.
Mewakili tuan rumah, Ketua Majelis GKJ Wonosobo, Purwani Sami Larasati (60) mengutarakan rasa syukurnya terhadap kehidupan masyarakat Wonosobo yang sangat menerima GKJ.
"Kami hidup bersama masyarakat dengan tentram, adem ayem," tuturnya sambil.
Purwani menceritakan bahwa April lalu, ketika GKJ Wonosobo melakukan persembahan unduh-unduh, sebagai upaya mensyukuri hasil bumi dan usaha dagang, saudara-saudara muslim dan Ansor menjadi pengiring.
Masyarakat Muslim ada yang turut menampilkan Reog Ponorogo.
Interaksi gereja dengan masyarakat saling menghargai.
Sebagai bidan ia pun selama ini melayani tanpa melihat perbedaan latar bekakang pasien.
GKJ Wonosobo juga kerap menggelar acara buka bersama.
Ramadan 2016 lalu pernah mengundang tokoh Muslim Gus Nuril.
Baca: Sepasang Melon di Jepang Terjual Rp 413 Juta Pecahkan Rekor Buah Termahal
Sekretaris GKJ Wonosobo pun menjelaskan tujuan dari kegiatan-kegiatan GKJ yang melibatkan masyarakat.
"Semua itu dilakukan gereja tidak untuk sendiri, karena kegiatan-kegiatan itu diberikan kepada masyarakat luas, khususnya yang tidak mampu," katanya.
Kunjungan ke Vihara dan Kisah Persekusi Sikh
Cuaca Wonosobo yang mendung tidak mengurangi kehangatan proses peace train.
Setelah istirahat siang rombongan bertandang ke Vihara Bodhi Wahana.
Peserta mendapatkan penjelasan tentang jenis atau perbedaan mazhab dan prinsip-prinsip beribadah dalam agama Budha dari Suryo salah satu pengurus Vihara.
Interaksi diskusi berkembang lebih dinamis ketika salah satu peserta PTI 5 yang beragama Sikh, Prem Singh (18) diminta Suryo dan peserta untuk menjelaskan apa yang diyakininya.
Sehingga, selain pihak Vihara memaparkan tantangan umat Budha di Wonosobo yang tidak selalu harmonis dan untuk itu interaksi lintas-iman terus mereka upayakan, diskusi pun diperkaya dengan sejarah mula penganut Sikh mengenakan turban untuk menutupi kepala.
Baca: KPU Adang Eks Koruptor Maju Caleg Meski Ditentang Bawaslu, Kemendagri dan DPR
"Sejak Guru Sikh yang kesepuluh, umat Sikh yang semakin sedikit karena terus dikejar dan dibunuhi, mulai dikumpulkan untuk melawan kekaisaran Mughal Islam India. Saat itulah diputuskan agar penganut Sikh memakai identitas penutup kepala, gelang dan pedang," Prem mengisahkan.
Peserta satu-satunya yang mengenakan turban ini pun menegaskan, "Kendati keyakinan Sikh berbeda dengan Islam, Hindu dan Budha, yang merupakan tiga agama besar yang waktu itu berkembang di India, tetapi Tuhan yang dipuja adalah Allah yang sama."