Revisi UU Antiterorisme Sejak 2016, Ini 7 Pasal Jadi Perdebatan, Pelibatan TNI hingga Penyadapan
Pasalnya, revisi UU Antiterorisme telah diusulkan oleh pemerintah sejak 2016 setelah aksi teror bom di kawasan Thamrin.
2. Pelibatan TNI
Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.
Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.
Selain itu, TNI tak memiliki kewenangan menindak pelaku terorisme dalam ranah penegakan hukum.
Meski demikian, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pasal pelibatan TNI diatur dalam UU Antiterorisme.
Syafi'i mengatakan, aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres).
"TNI terlibat dalam pemberantasan terorisme itu kan sebuah keniscayaan. Tentang bagaimana pelibatannya tadi sudah disepakati lebih lanjut akan diatur dalam Perpres yang harus selesai paling lama setahun setelah UU disahkan," ujar dia.
Secara terpisah, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, pasal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme pada dasarnya mengacu pada kerangka pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.
Namun, pelibatan TNI harus berada di bawah kewenangan Presiden karena pemberantasan terorisme merupakan tugas pemerintah.
Selain itu, institusi Polri dan TNI sama-sama berada di bawah kendali Presiden sebagai panglima tertinggi.
"Jadi biar Presiden yang mengatur peran itu. Tetap dalam koridor UU yang ada," tutur Arsul.
3. Penyadapan
Pasal 31 draf UU Antiterorisme sempat mengatur mekanisme penyadapan yang tak perlu izin dari pengadilan negeri.
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun.