Pilpres 2019
Pengamat: Jangan Paksakan JK Kembali Jadi Pendamping Jokowi di Pilpres 2019
Jangan terlalu dipaksakan Jusuf Kalla (JK) kembali disandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jangan terlalu dipaksakan Jusuf Kalla (JK) kembali disandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
Hal itu disampaikan Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio kepada Tribunnews.com, Kamis (3/5/2018).
"Hati-hati langkah mundur terhadap upaya untuk meloloskan JK sebagai Cawapres Jokowi lagi," ujar Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) ini.
Menurut Hendri Satrio, reformasi akan gagal jika batasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak dibatasi.
"Seharusnya tidak dipaksakan untuk menjadikan JK menjadi pendampingi Jokowi. Dan harus berpikir untuk masa depan," pesannya.
Baca: Versi Survei Indikator, Anies dan Gatot Kalah Telak Bila Head to Head dengan Jokowi
Jauh lebih baik dia menyarankan agar JK maju sebagai Calon Presiden (Capres), jika memang ingin berbakti kembali untuk bangsa dan negara ini.
"Jika ingin terus berbakti kepada negara ini, ada jalur sebagai Capres. Gunakan saja jalur itu," tegasnya.
Koordinator Bidang Perekonomian Partai Golkar Aziz Syamsuddin menilai Wakil Presiden JK masih bisa menjadi calon wapres alternatif untuk mendampingi Presiden Joko Widodo.
Bahkan, ia menilai JK bisa menjadi penengah di antara partai koalisi pengusung Jokowi.
"Bisa jadi peneduh, dan seperti pohon beringin bisa jadi penengah terhadap seluruh instrumen-instrumen yang ada di masyarakat," kata Aziz di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (2/5/2018).
Aziz bahkan menyatakan, partainya akan mendukung jika Kalla dipilih sebagai cawapres. Apalagi, Partai Golkar telah menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada Jokowi.
Terlebih, kata Aziz, JK merupakan mantan ketua umum Partai Golkar, sehingga punya basis massa yang kuat, khususnya di Indonesia Timur.
Ketokohan JK, di Indonesia Timur, menurut Aziz, akan mendongkrak elektabilitas Jokowi di sana.
"Karena kan figur Pak JK (Jusuf Kalla) ini kan sebagai ketum 2004-2009 punya faktor. Tentu faktor figur dari beliau juga akan pengaruhi. Juga faktor dia dari Indonesai Timur," ujar Aziz.
Namun, lanjut Aziz, dukungan akan diberikan jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi terkait persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Sebelumya, gugatan uji materi ke MK dilayangkan oleh pemohon Muhammad Hafidz, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan Perkumpulan Rakyat Proletar.
Pemohon menginginkan kedua norma dalam UU Pemilu, yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, ditafsirkan tidak berturut-turut.
Sebab, dengan aturan itu, maka Jusuf Kalla tidak bisa masuk lagi di Pilpres 2019 sebagai cawapres. Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Pemilu memberikan syarat bagi presiden dan Wakil Presiden, yaitu: belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama, dan surat pemberitahuan belum pernah menjadi Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama.
Para pemohon merasa dirugikan secara konstitusi bila Jusuf Kalla tidak bisa maju lagi mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019. Sebab, selama ini duet Jokowi-JK dinilai memiliki komitmen nyata dalam penciptaan lapangan kerja.