Bareskrim Bantah Penyitaan Kapal Equanimity Tak Sesuai Aturan
Dalam putusan praperadilan itu, hakim Ratmoho menyatakan penyitaan kapal tersebut tidak sah adanya.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol Rudy Heriyanto membantah pihaknya melakukan penyitaan kapal Equanimity dengan tak sesuai aturan hukum yang berlaku.
Hal ini disampaikan usai pihak Bareskrim menerima putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penyitaan kapal Equanimity.
Dalam putusan praperadilan itu, hakim Ratmoho menyatakan penyitaan kapal tersebut tidak sah adanya.
"Kami yakin penyitaan yang kami lakukan adalah sah. Menurut kami sudah sesuai," ujar Rudy di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018) malam.
Perbedaan persepsi antar Polri dan hakim praperadilan lah yang diyakini Rudy membuat pihak Bareskrim disebut melakukan penyitaan tak sesuai hukum yang berlaku.
Ia menyebut Polri melakukan penyitaan berdasarkan KUHAP. Berdasarkan undang-undang tersebut, seharusnya permintaan bantuan penyitaan disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM.
Baca: Ditemukan 9 Bunker Zaman Jepang di Kaki Suramadu
Selanjutnya, menteri meneruskan kepada Polri untuk kepentingan penyidikan.
Sementara itu, hakim praperadilan mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
"Penyitaan kita kan berdasar KUHAP. Tapi menurut pengadilan harus mekanisme UU Nomor 1 tahun 2006. Jadi beda persepsi," ungkapnya.
Lebih lanjut, Rudy menjelaskan saat itu penyitaan dilakukan setelah berkoordinasi dengan FBI. Pihak Bareskrim ketika itu mengaku khawatir kapal tersebut akan meninggalkan wilayah sehingga diambil keputusan mendesak.
"Ternyata dianggap tidak sah karena ada mekanisme tersendiri terkait penanganan hukum di luar negeri," pungkasnya.
Sebelumnya, dalam amar putusan praperadilan, hakim Ratmoho memerintahkan Polri untuk mengembalikan kapal Equanimity kepada pemiliknya.
Hakim menilai penyitaan kapal tersebut tak memiliki dasar hukum.
"Menyatakan penyitaan kapal Equanimity berdasarkan surat perintah Polri tanggal 26 Februari 2018 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum. Membatalkan surat penyitaan Polri tanggal 26 Februari 2018. Menghukum Termohon untuk mengembalikan kapal pesiar tersebut kepada Pemohon," ujar Ratmoho.
Dalam pertimbangannya, Ratmoho menyebut Polri seharusnya tidak menimbulkan perkara baru saat membantu Federal Bureau of Investigation (FBI) menemukan kapal Equanimity.
Polri, kata Ratmoho, seharusnya tidak menyita kapal Equanimity karena FBI belum membuktikan unsur tindak pidana yang berkaitan dengan kapal tersebut.
"Berdasarkan bukti, belum ada tindak pidana di negara asal si peminta sehingga walaupun ada hubungan baik antara Polri dan FBI, tidak serta merta Polri melakukan hal itu dan harusnya Polri melakukan pendalaman terlebih dahulu," kata Ratmoho.
Otoritas hukum Amerika Serikat mendeteksi kapal Equanimity masuk perairan Indonesia sejak November 2017. Mereka kemudian melakukan koordinasi dengan penegak hukum Indonesia untuk melakukan penyitaan kapal yang diduga hasil pencucian uang korupsi di Amerika itu.
Polri akhirnya mengamankan kapal pesiar senilai 250 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,5 triliun itu di Pelabuhan Benoa, Bali, pada 28 Februari 2018