Yusril: Hanya Pemerintah yang Bisa Bubarkan Partai yang Terlibat Korupsi
Dalam Pasal 68 UU MK menyatakan, MK berwenang memutus perkara parpol apabila asas, ideologi serta kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan hanya pemerintah yang memiliki kewenangan untuk memerintahkan MK (Mahkamah Konstitusi) untuk menyidangkan perkara pembubaran partai politik yang diduga ikut menikmati uang hasil korupsi.
Hal itu diungkapkannya berdasarkan fakta persidangan kasus korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-el) yang menyebutkan partai politik ikut menikmati uang hasil korupsi KTP-el yang ditaksir mencapai angka Rp 2,3 triliun dari nilai proyek yang mencapai Rp 5,9 triliun.
“Yang memutuskan parpol bubar atau tidak bukan lah Mahkamah Agung dalam hal perkara pidana, tetapi MK dalam perkara yang lain yaitu perkaran pembubaran parpol. Sementara MK hanya bisa menyidangkan perkara pembubaran parpol jika ada permintaan dari pemerintah menurut Pasal 68 UU MK dan Peraturan MK No 12 Tahun 2014 yang memiliki legal standing untuk mengajukan perkara pembubaran parpol,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/3/2018).
Baca: Novanto Sebut Nama Baru Terkait Proyek KTP-el, Golkar Minta KPK Tidak Tebang Pilih
Jika dilihat dari sudut padang hukum pidana, Yusril mengatakan apabila sebuah parpol terbukti ikut menikmati hasil korupsi maka yang dijatuhi hukuman adalah pimpinannya, sementara parpolnya tidak otomatis bubar.
Yusril menjelaskan bahwa dalam Pasal 68 UU MK menyatakan bahwa MK berwenang memutus perkara parpol apabila asas, ideologi serta kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.
“Walaupun masih menjadi pertanyaan apakah MK bisa memutus perkara pembubaran parpol dengan alasan kegiatannya tidak sesuai UUD 1945,” imbuhnya.
Baca: Sekjen PDIP: Apa yang Disampaikan Setnov Hanya Kepura Puraan Saja
Yusril juga mengakui bahwa masalah tersebut merupakan hal yang cukup rumit saat dibahas dalam RUU Perubahan UU Tipikor No 31 Tahun 1999.
“Saya adalah orang yang mewakili presiden saat itu untuk membahas RUU Perubahan UU Tipikor No 31 Tahun 1999 dan pembahasan RUU MK bersama DPR RI dan saya menyadari betapa rumitnya menuangkan hal tersebut dalam konstitusi. Tapi UU Tipikor kemudian memberi wewenang bagi penegak hukum untuk menyidik kejahatan korporasi seperti dugaan terlibatnya partak politik dalam kasus korupsi sehingga pimpinannya bisa dituntut, dadili, dan dihukum,” pungkasnya.