UU MD3
4 DPC PMKRI Ajukan Uji Materi UU MD3 ke MK
Berkas permohonan uji materil (Judicial Review) UU MD3 terhadap UUD 1945 tersebut, telah dinyatakan lengkap
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), diuji-materikan ke MK.
Berkas permohonan uji materil (Judicial Review) UU MD3 terhadap UUD 1945 tersebut, telah dinyatakan lengkap dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Maret 2018, melalui Tanda Terima Nomor: 1769-1/PAN.MK/III/2018.
Adapun badan hukum privat yang menjadi Pemohon adalah DPC PMKRI Jakarta Timur yang diwakili Mikael Yohanes B. Bone. Pun DPC PMKRI Jakarta Utara diwakili Wilibrordus Klaudius Bhira.
Selain juga DPC PMKRI Jakarta Barat diwakili Dionisius Sandi Tara. Juga DPC PMKRI Jakarta Selatan diwakili Prudensio Veto Meo.
Sedangkan Pemohon perorangan warga negara Indonesia adalah Kosmas Mus Guntur, Andreas Joko, Elfriddus Petrus Muga, Heronimus Wardana, dan Yohanes Berkhmans Kodo.
Dalam perkara ini, para Pemohon telah memberi kuasa kepada Bernadus Barat Daya, sebagai advokat/konsultan hukum yang akan mewakili para pemohon dalam proses persidangan di MK selanjutnya.
Adapun beberapa pasal UU MD3 yang dimohon untuk diuji materil adalah Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5). Juga Pasal 122 huruf (k). Dan Pasal 245 ayat (1).
Ketiga pasal tersebut dipandang telah bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1 dan 3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945.
"Kami berpandangan bahwa tiga pasal UU MD3 itu, merugikan hak konstitusional kami sebagaimana dijamin oleh UUD 1945," ujar Mikael Yohanes B. Bone dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu (21/3/2018).
Karena itu, secara hukum pihaknya berwenang dan memiliki hak untuk memohonkan pengujian materi UU tersebut di depan Hakim Mahkamah Konstitusi.
"Sebab dengan berlakunya UU MD3, kami telah dirugikan dan kerugian itu bersifat fatal dan potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi, serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya UU MD3," tegasnya.
Oleh karena itu, ketika Hakim MK sebagai the sole interpreter of the constitution dan pengawal Konstitusi, mengabulkan permohonan kami, maka kerugian Hak Konstitusional tidak akan terjadi.
Pihaknya memandang bahwa tiga pasal UU MD3, selain bertentangan dengan UUD 1945, juga bertentangan dengan beberapa UU lain.
Yakni seperti UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (Pasal 28 dan Pasal 55). Pun UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
UU MD3 yang memberikan kewenangan luar biasa kepada DPR, potensial dapat “memenjarakan” siapa pun yang melakukan kecaman atau kritikan yang dianggap (secara subjektif) merendahkan martabat DPR.
Sebab argumentasi ‘demi kehormatan dewan’ tak lebih sebagai dalih hipokrit yang tendensius, subjektif dan multitafsir.
UU MD3 juga dapat dijadikan “alat pemotong lidah rakyat”.
Padahal sejatinya DPR wajib mentaati semua peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan mentaati asas equality before the law.
Para insan pers (Wartawan), lembaga swadaya masyarakat (LSM), para aktivis organisasi kemasyarakatan (Ormas), serta siapa pun harus dapat secara leluasa memperoleh, mengolah dan memberitakan informasi itu secara bertanggung jawab.
Karena hak-hak tersebut merupakan hak konstitusional yang dijamin Konstitusi Negara.
Lebih lanjut menurutnya, tiga pasal UU MD3, berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
Karena frasa “merendahkan kehormatan” itu bersifat relative, tentatif dan sangat subjektif.
Dan terminologi merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR itu, dapat diterapkan secara sewenang-wenang sesuai interpretasi subjektif atau sesuai kepentingan politik anggota DPR.
"Sangat mungkin terjadi, dimana ketika masyarakat melakukan kritikan atau menyampaikan aspirasi, atau memberitakan aktivitas DPR dan bentuk lain sebagai ungkapan pikiran rakyat terhadap DPR, akan dianggap merendahkan kehormatan dan oleh karenanya DPR dengan segala kewenangan yang luar biasa, dapat melakukan langkah hukum atau langkah politik untuk memproses terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dituduh merendahkan kehormatan DPR," jelasnya.
Kewenangan MKD DPR, juga berpotensi dapat menyeret siapa saja ke ranah hukum jika dianggap merendahkan martabat dan kehormatan DPR. Pasal itu tak ubahnya sebagai alat “pemotong lidah rakyat”.
Padahal kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Pers dalam UU telah dijamin haknya untuk; menegakkan nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat masyarakat, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (UU Pers).
Terkait pasal 245 UU MD3, yang mengandung makna bahwa anggota DPR tidak dapat dipanggil oleh aparat hukum sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, dan setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Substansi pasal ini sebenarnya telah ‘dimatikan’ oleh MK, tetapi “dihidupkan kembali” oleh DPR.
Mengingat bahwa sebelumnya, MK telah membatalkan klausul “atas izin MKD”, sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 76/PPU-XII/2014, terkait pengujian Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014. Namun dalam pasal 245 UU MD3, masih tetap menggunakan klausul yang sama, walau kata “izin MKD” diganti dengan kata “pertimbangan MKD”.
Pergantian kata “izin” dengan kata “pertimbangan” tersebut, hanyalah sebuah pengecohan DPR terhadap publik.
Sebab dalam artian ini, jika MKD tidak memberi pertimbangan kepada Presiden, maka Presiden tidak dapat mengeluarkan surat persetujuan kepada penegak hukum untuk memanggil DPR.
Hak imunitas yang dimiliki DPR melalui UU MD3, telah melampaui batas kewajaran, dan mengancam hak pihak lain di luar DPR.
Padahal UU MD3, hanya berlaku khusus bagi DPR dan atau tidak berlaku bagi siapa pun yang bukan anggota DPR.
Namun UU MD3 itu, berdampak buruk terhadap pihak lain yang tidak berada dalam lingkup DPR.
"Karena itu, kami memohon kepada majelis Hakim Konstitusi agar berkenan menyatakan bahwa pemberlakuan tiga pasal dalam UU MD3 itu, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat," pintanya. (*)